Ray
Ini
hari pertamaku kembali ke desa ini setelah tiga tahun pergi untuk melanjutkan
pendidikan ke kota. Perjalanan yang cukup jauh, sehingga bus mengantarku di
saat hari sudah malam. Setelah bertemu dengan Bibi Erni, adik ibuku yang
tinggal sendiri di rumahnya di desa ini, aku segera diajaknya untuk segera
tidur di kamar milik anaknya yang kebetulan masih bersekolah di kota.
Aku
tidak bisa tidur dengan tenang karena memikirkanmu. Sudah tiga tahun sejak
kelulusan kita di SMP. Aku pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikan,
sementara kau tetap tinggal di kota ini untuk membantu keluargamu merawat
kebun. Karena siswa di SMP tidak terlalu banyak dan didominasi oleh laki-laki,
kita berdua pun bisa berteman akrab dan menjadi sahabat. Aku merindukanmu.
Rindu terhadap wajah konyolmu dan dibonceng di atas sepedamu, seperti dulu,
saat kita pulang sekolah bersama.
Karena
itu di saat liburan kelulusan SMA seperti ini aku berniat kembali ke desa ini.
Mengunjungi kampung halamanku, bertemu dengan Bibi, dan bertemu denganmu lagi,
sahabatku.
□□□
Pagi
hari yang cerah, aku berjalan-jalan di jalan setapak dekat persawahan milik
warga desa. Sebagian besar masyarakat di desa ini memang menanam padi dan hanya
keluargamu yang berkebun buah-buahan.Aku memperlambat langkahku saat melihat
kau sedang memetik buah jeruk di kebunmu. Memang, jaraknya cukup jauh tetapi
aku bisa mengenalimu dari rambut pirang dan jaket merahmu. Sejak dulu kau
selalu memakai jaket berwarna merah meskipun jenis jaketnya berganti. Hal ini
memudahkanku untuk mengenalimu dari jarak sejauh ini.
Aku
diam berdiri sambil tersenyum melihatmu memetik buah bersama beberapa pekerja
lainnya. Beruntung, kau akhirnya menyadari keberadaanku. Kau berhenti lalu
memandang ke arahku beberapa saat sebelum akhirnya berlari ke bagian luar kebun
untuk mengambil sepeda.
Kau
berputar untuk mencari jalan terdekat untuk menemuiku. Aku sendiri kembali
berjalan pelan ke arah pinggiran desa.
□□□
“Lena,”
ucapmu menyebut namaku saat berhasil mendekatiku sambil turun dari atas sepeda.
Aku tersenyum ke arahmu. Rasanya canggung sekali setelah lama tidak bertemu.
“Tubuhmu pendek, ya,” ucapmu tiba-tiba sambil tersenyum.
Setelah
lama tidak bertemu, itukah kesan pertamamu saat pertama berjumpa denganku?
Wajahku berubah menjadi masam.
“Huh,
kaulah yang bertambah tinggi!” ucapku sambil memalingkan wajah. Kau hanya
tertawa kecil.
Setelah
lama tak bertemu, selain semakin tinggi, tubuhmu juga bertambah kekar. Apa
karena selalu bekerja di kebun? Rambut pirangmu juga semakin gondrong.
“Rambutmu
kini panjang!” ucapmu lagi sambil memerhatikan rambutku.
“Tidak
perlu memuji,” jawabku berusaha menyembunyikan ekspresi senang karena telah
dipuji.Aku melirik ke arah sepedamu. Bukan sepeda untuk perempuan, kini
sepedamu tipe sport.
“Kenapa?”
tanyamu saat menyadari aku sibuk memerhatikan sepedamu.
“Tempat
duduknya hanya satu,” ucapku singkat.
“Haha,
sepedaku ada banyak. Kebetulan aku membawa yang satu ini,” ucapmu. Sesaat
kemudian kita saling terdiam, tidak berbicara.
Dasar,
masih seperti yang dulu. Tidak peka. Perlu waktu beberapa detik sebelum
akhirnya kaupun mengucapkan hal yang ingin kudengar.
“Ingin
berkeliling desa bersamaku?” ajakmu. Aku segera mengangguk.
“Bagaimana
caramu memboncengku?” tanyaku sambil memandang ke wajahmu. Hmm, lama tak
berjumpa, wajahmu semakin tampan.Kau mengambil handuk kecil dari dalam kantong
celanamu yang besar lalu menaruhnya di kerangkan sepeda di depan tempat
dudukmu. Kau naik terlebih dahulu lalu menyuruhku untuk duduk menyamping. Tanpa
ragu aku segera duduk menyamping ke arah kiri.
Perlahan
kau mulai mengayuh sepeda. Awalnya memang sedikit goyang sehingga aku refleks
memegang tangan kirimu agar tidak jatuh. Berbeda dengan yang dulu, kini tangan
itu dipenuhi otot-otot yang kekar dan kuat. Karena tubuhmu besar, sepedamu juga
sangat besar sehingga tubuhku yang kecil dengan mudah bisa kau bonceng di
depan.
Setelah
kurasa cukup stabil, perlahan aku melepaskan pegangan kedua tanganku dari
tangan kirimu. Perlahan tangan kiriku meraih jaket merahmu dan berpegangan ke
situ sedangkan tangan kananku perlahan memegang ke setang sepeda tanpa berusaha
mengganggu kendalimu.Rasanya aneh. Tetap canggung, meskipun dulu setiap hari
kita melakukan hal ini setiap hari. Hanya saja ini pertama kalinya aku duduk di
depan. Aku bisa mendengar desahan napasmu yang tetap stabil meskipun sedang
mengayuh sepeda.
Kini
kau membawaku berkeliling ke arah luar desa, menuju tepi pebukitan di arah
selatan. Karena hal itu, aku terpaksa menutupi wajahku agar tidak silau terkena
sinar matahari. Kau segera mengambil sesuatu dari kantong celanamu yang lain.
Topi. Kau memasangkan topi itu di kepalaku dengan lembut tanpa berkata apa-apa.
“Terima
kasih,” ucapku pelan sambil tersenyum tanpa memandang ke arahmu. Hmm,
sebenarnya seberapa besar kantong celanamu itu?
“Yups,”
sahutmu.
Setelah
cukup lama mengayuh dan saling diam, kita berdua akhirnya tiba di tepi bukit.
Di sepanjang tepi bukit itu dibatasi oleh pagar kayu yang sangat rapi. Aku
kemudian turun dari sepeda dan berjalan pelan menuju ke dekat pagar lalu
memandang perbukitan dan hutan di seberang bukit sana. Sangat indah. Sudah
sangat lama aku tidak pernah melihatnya sejak tiga tahun yang lalu.
Kau
segera turun dari sepeda lalu mendorong dan memarkirkannya di dekat pagar.
Dengan santai kau segera bersandar di pagar itu, membelakangi pemandangan yang
sedang kulihat. Wajar, mungkin kau sudah sering melihat pemandangan seperti
ini.
“Kau
bertambah cantik,” kini kau memandangi wajahku dengan tatapan lembut.
“Omong
kosong,” sahutku sambil memasang ekspresi masam. Rasanya seperti kepiting
rebus, aku senang dipuji olehmu tetapi tidak bisa mengekspresikannya dengan
baik.
“Hahaha,
kau tetap tidak bisa menyembunyikan perasaan senangmu,” ucapmu. “Apa kau sudah
memiliki kekasih?” tanyamu padaku. Aku cukup terkejut dengan pertanyaanmu yang
satu ini.
“Kenapa
kau bertanya seperti itu?” tanyaku curiga. “Kau seperti yakin jika aku belum
memiliki kekasih,” lanjutku sambil memain-mainkan topi yang kau beri tadi.
“Kau
gadis yang sangat pemilih,” komentarmu kemudian sambil mengangkat sebelah
alismu dan memandangku dengan tatapan bodoh. “Memangnya laki-laki seperti apa
yang kau inginkan?” lanjutmu.
Mendengar
pertanyaanmu aku segera mengangkat wajahku memandang ke langit sambil menyentuh
daguku dengan jemari tangan kananku. Sesaat aku berpikir. Sepertinya tidak
terlalu istimewa.
“Seperti
kau,” jawabku yakin. Tidak ada keraguan di dalam perkataanku.
“Aku?”
jawabmu sambil menunjuk diri sendiri sambil terkekeh dengan wajah konyolmu itu.
“Percaya diri sekali kau mengatakannya,” ucapmu lagi seraya menggeleng-geleng
kecil.
“Kenapa?
Kau sahabat yang menyenangkan. Sulit mencari kekasih yang sepertimu,”
komentarku sambil menahan malu.Entah kenapa aku berani mengucapkan hal seperti
ini. Rasanya seperti mengungkapkan perasaan ke orang yang kita suka. Mungkin
karena aku sudah sangat akrab denganmu sehingga aku berani mengucapkannya.
Aku
melirik ke arahmu. Uh, rupanya kau sedang memandangiku dari wajah lalu turun
hingga ke kakiku yang hanya menggunakan celana sampai di atas lutut.
“Pandanganmu
seperti pandangan laki-laki mesum,” ucapku jengkel.
“Tidak,
aku hanya sedang mengamati ‘benda’ yang akan kumiliki,” ucapmu dengan nada
menyebalkan lalu tertawa.Angin mendadak berhembus cukup cepat sehingga
menggoyangkan rambut kita berdua. Akupun sibuk merapikan rambut panjangku lalu
kembali memandang ke arahmu. Terdiam sesaat.
“Ingin
mencoba sebuah hubungan?” ucapku kemudian sambil menundukkan kepala. Cukup
lama, belum ada jawaban.
Aku
melirik ke arahmu. Kau tengah memandang ke langit.
“Hubungan
jarak jauh? Sahabat jadi cinta? Kau ingin menjalani hal seperti itu?” ucapmu
santai sambil mengamati awan yang berarak di langit. Wajahmu terlihat sangat
tenang.
“Sahabat
jadi cinta? Bagaimana jika sahabat yang saling mencintai?” ucapku pelan. “Semua
tahu jika kita sangat dekat. Cepat atau lambat orang tua kita juga pasti akan
menjodohkan kita,” tambahku.
“Percaya
diri sekali kau? Perjodohan kita? Dari mana kau yakin jika sekarang aku tidak
memiliki kekasih?” ucapmu dengan tatapan konyol yang menjengkelkan itu lagi.
Aku segera memasang wajah masam.
“Hei
hei, jangan memasang wajah imut-imut seperti itu,” ucapmu yang membuatku
semakin jengkel dan hampir menangis. “Eh? Bercanda! Jangan menangis!” ucapmu
panik seraya menghampiriku lalu mengusap kepalaku. “Aku hanya bercanda. Tentu
saja aku akan....................”
Saat
itu kau mengucapkan hal yang sangat ingin aku dengar tetapi sambil diselingi
tawa konyol.
□□□
Setelah
semua itu, kau memboncengku kembali menuju desa, dengan posisi seperti tadi. Hanya
saja kali ini tangan kiriku memeluk pinggangmu. Tidak canggung seperti
sebelumnya.
Saat
di tengah perjalanan, aku memandang ke arah wajahmu, bersamaan dengan kau juga
yang sedang melirik ke arahku. Entah perasaan apa yang membuatku tiba-tiba
memajukan wajahku ke wajahmu sambil perlahan menutup mata. Sekilas aku juga
bisa melihat kau memajukan wajahmu ke wajahku sambil ikut menutup mata.
Hangat.
Terasa hangat. Sentuhan ini, perasaan ini.... tunggu, jika seperti ini,
bagaimana dengan sepedanya? Aku segera menarik wajahku menjauhi wajahmu dengan
panik.
“Sepedanya!”
ucapku cukup nyaring. Kau langsung membuka mata dan memasang ekspresi panik.
Terlambat.
Kita berdua keluar dari jalan tanah itu lalu jatuh ke rerumputan empuk di
pinggir jalan. Kita sama-sama jatuh terlentang berdekatan sementara sepedamu
terseret agak jauh. Tidak sakit, malah terasa menyenangkan. Sesaat kemudian
kita tertawa bersamaan.
“Dasar,
gara-gara kau, kita jadi terjatuh,” ucapmu sambil menjulurkan lidah kepadaku
yang masih dalam posisi telentang di sebelahmu.
“Huh,
kau juga menginginkannya, kan!” ucapku kemudian.
Setelah
itu kita berbicara seharian hingga siang hari yang terik. Berbicara tentang
bermacam-macam hal sambil tidur-tiduran di rerumputan ini...
□□□
©2013
by Hikaru Xifos, Ray
0 komentar:
Posting Komentar
...........................