Jumat, 27 Juni 2014

 6/27/2014 10:06:00 AM         No comments

Ray

Ray

            Ini hari pertamaku kembali ke desa ini setelah tiga tahun pergi untuk melanjutkan pendidikan ke kota. Perjalanan yang cukup jauh, sehingga bus mengantarku di saat hari sudah malam. Setelah bertemu dengan Bibi Erni, adik ibuku yang tinggal sendiri di rumahnya di desa ini, aku segera diajaknya untuk segera tidur di kamar milik anaknya yang kebetulan masih bersekolah di kota.
            Aku tidak bisa tidur dengan tenang karena memikirkanmu. Sudah tiga tahun sejak kelulusan kita di SMP. Aku pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikan, sementara kau tetap tinggal di kota ini untuk membantu keluargamu merawat kebun. Karena siswa di SMP tidak terlalu banyak dan didominasi oleh laki-laki, kita berdua pun bisa berteman akrab dan menjadi sahabat. Aku merindukanmu. Rindu terhadap wajah konyolmu dan dibonceng di atas sepedamu, seperti dulu, saat kita pulang sekolah bersama.
            Karena itu di saat liburan kelulusan SMA seperti ini aku berniat kembali ke desa ini. Mengunjungi kampung halamanku, bertemu dengan Bibi, dan bertemu denganmu lagi, sahabatku.
□□□
 
            Pagi hari yang cerah, aku berjalan-jalan di jalan setapak dekat persawahan milik warga desa. Sebagian besar masyarakat di desa ini memang menanam padi dan hanya keluargamu yang berkebun buah-buahan.Aku memperlambat langkahku saat melihat kau sedang memetik buah jeruk di kebunmu. Memang, jaraknya cukup jauh tetapi aku bisa mengenalimu dari rambut pirang dan jaket merahmu. Sejak dulu kau selalu memakai jaket berwarna merah meskipun jenis jaketnya berganti. Hal ini memudahkanku untuk mengenalimu dari jarak sejauh ini.
            Aku diam berdiri sambil tersenyum melihatmu memetik buah bersama beberapa pekerja lainnya. Beruntung, kau akhirnya menyadari keberadaanku. Kau berhenti lalu memandang ke arahku beberapa saat sebelum akhirnya berlari ke bagian luar kebun untuk mengambil sepeda.
            Kau berputar untuk mencari jalan terdekat untuk menemuiku. Aku sendiri kembali berjalan pelan ke arah pinggiran desa.
□□□
            “Lena,” ucapmu menyebut namaku saat berhasil mendekatiku sambil turun dari atas sepeda. Aku tersenyum ke arahmu. Rasanya canggung sekali setelah lama tidak bertemu. “Tubuhmu pendek, ya,” ucapmu tiba-tiba sambil tersenyum.
            Setelah lama tidak bertemu, itukah kesan pertamamu saat pertama berjumpa denganku? Wajahku berubah menjadi masam.
            “Huh, kaulah yang bertambah tinggi!” ucapku sambil memalingkan wajah. Kau hanya tertawa kecil.
            Setelah lama tak bertemu, selain semakin tinggi, tubuhmu juga bertambah kekar. Apa karena selalu bekerja di kebun? Rambut pirangmu juga semakin gondrong.
            “Rambutmu kini panjang!” ucapmu lagi sambil memerhatikan rambutku.
            “Tidak perlu memuji,” jawabku berusaha menyembunyikan ekspresi senang karena telah dipuji.Aku melirik ke arah sepedamu. Bukan sepeda untuk perempuan, kini sepedamu tipe sport.
            “Kenapa?” tanyamu saat menyadari aku sibuk memerhatikan sepedamu.
            “Tempat duduknya hanya satu,” ucapku singkat.
            “Haha, sepedaku ada banyak. Kebetulan aku membawa yang satu ini,” ucapmu. Sesaat kemudian kita saling terdiam, tidak berbicara.
            Dasar, masih seperti yang dulu. Tidak peka. Perlu waktu beberapa detik sebelum akhirnya kaupun mengucapkan hal yang ingin kudengar.
            “Ingin berkeliling desa bersamaku?” ajakmu. Aku segera mengangguk.
            “Bagaimana caramu memboncengku?” tanyaku sambil memandang ke wajahmu. Hmm, lama tak berjumpa, wajahmu semakin tampan.Kau mengambil handuk kecil dari dalam kantong celanamu yang besar lalu menaruhnya di kerangkan sepeda di depan tempat dudukmu. Kau naik terlebih dahulu lalu menyuruhku untuk duduk menyamping. Tanpa ragu aku segera duduk menyamping ke arah kiri.
            Perlahan kau mulai mengayuh sepeda. Awalnya memang sedikit goyang sehingga aku refleks memegang tangan kirimu agar tidak jatuh. Berbeda dengan yang dulu, kini tangan itu dipenuhi otot-otot yang kekar dan kuat. Karena tubuhmu besar, sepedamu juga sangat besar sehingga tubuhku yang kecil dengan mudah bisa kau bonceng di depan.
            Setelah kurasa cukup stabil, perlahan aku melepaskan pegangan kedua tanganku dari tangan kirimu. Perlahan tangan kiriku meraih jaket merahmu dan berpegangan ke situ sedangkan tangan kananku perlahan memegang ke setang sepeda tanpa berusaha mengganggu kendalimu.Rasanya aneh. Tetap canggung, meskipun dulu setiap hari kita melakukan hal ini setiap hari. Hanya saja ini pertama kalinya aku duduk di depan. Aku bisa mendengar desahan napasmu yang tetap stabil meskipun sedang mengayuh sepeda.
            Kini kau membawaku berkeliling ke arah luar desa, menuju tepi pebukitan di arah selatan. Karena hal itu, aku terpaksa menutupi wajahku agar tidak silau terkena sinar matahari. Kau segera mengambil sesuatu dari kantong celanamu yang lain. Topi. Kau memasangkan topi itu di kepalaku dengan lembut tanpa berkata apa-apa.
            “Terima kasih,” ucapku pelan sambil tersenyum tanpa memandang ke arahmu. Hmm, sebenarnya seberapa besar kantong celanamu itu?
            “Yups,” sahutmu.
            Setelah cukup lama mengayuh dan saling diam, kita berdua akhirnya tiba di tepi bukit. Di sepanjang tepi bukit itu dibatasi oleh pagar kayu yang sangat rapi. Aku kemudian turun dari sepeda dan berjalan pelan menuju ke dekat pagar lalu memandang perbukitan dan hutan di seberang bukit sana. Sangat indah. Sudah sangat lama aku tidak pernah melihatnya sejak tiga tahun yang lalu.
            Kau segera turun dari sepeda lalu mendorong dan memarkirkannya di dekat pagar. Dengan santai kau segera bersandar di pagar itu, membelakangi pemandangan yang sedang kulihat. Wajar, mungkin kau sudah sering melihat pemandangan seperti ini.
            “Kau bertambah cantik,” kini kau memandangi wajahku dengan tatapan lembut.
            “Omong kosong,” sahutku sambil memasang ekspresi masam. Rasanya seperti kepiting rebus, aku senang dipuji olehmu tetapi tidak bisa mengekspresikannya dengan baik.
            “Hahaha, kau tetap tidak bisa menyembunyikan perasaan senangmu,” ucapmu. “Apa kau sudah memiliki kekasih?” tanyamu padaku. Aku cukup terkejut dengan pertanyaanmu yang satu ini.
            “Kenapa kau bertanya seperti itu?” tanyaku curiga. “Kau seperti yakin jika aku belum memiliki kekasih,” lanjutku sambil memain-mainkan topi yang kau beri tadi.
            “Kau gadis yang sangat pemilih,” komentarmu kemudian sambil mengangkat sebelah alismu dan memandangku dengan tatapan bodoh. “Memangnya laki-laki seperti apa yang kau inginkan?” lanjutmu.
            Mendengar pertanyaanmu aku segera mengangkat wajahku memandang ke langit sambil menyentuh daguku dengan jemari tangan kananku. Sesaat aku berpikir. Sepertinya tidak terlalu istimewa.
            “Seperti kau,” jawabku yakin. Tidak ada keraguan di dalam perkataanku.
            “Aku?” jawabmu sambil menunjuk diri sendiri sambil terkekeh dengan wajah konyolmu itu. “Percaya diri sekali kau mengatakannya,” ucapmu lagi seraya menggeleng-geleng kecil.
            “Kenapa? Kau sahabat yang menyenangkan. Sulit mencari kekasih yang sepertimu,” komentarku sambil menahan malu.Entah kenapa aku berani mengucapkan hal seperti ini. Rasanya seperti mengungkapkan perasaan ke orang yang kita suka. Mungkin karena aku sudah sangat akrab denganmu sehingga aku berani mengucapkannya.
            Aku melirik ke arahmu. Uh, rupanya kau sedang memandangiku dari wajah lalu turun hingga ke kakiku yang hanya menggunakan celana sampai di atas lutut.
            “Pandanganmu seperti pandangan laki-laki mesum,” ucapku jengkel.
            “Tidak, aku hanya sedang mengamati ‘benda’ yang akan kumiliki,” ucapmu dengan nada menyebalkan lalu tertawa.Angin mendadak berhembus cukup cepat sehingga menggoyangkan rambut kita berdua. Akupun sibuk merapikan rambut panjangku lalu kembali memandang ke arahmu. Terdiam sesaat.
            “Ingin mencoba sebuah hubungan?” ucapku kemudian sambil menundukkan kepala. Cukup lama, belum ada jawaban.
            Aku melirik ke arahmu. Kau tengah memandang ke langit.
            “Hubungan jarak jauh? Sahabat jadi cinta? Kau ingin menjalani hal seperti itu?” ucapmu santai sambil mengamati awan yang berarak di langit. Wajahmu terlihat sangat tenang.
            “Sahabat jadi cinta? Bagaimana jika sahabat yang saling mencintai?” ucapku pelan. “Semua tahu jika kita sangat dekat. Cepat atau lambat orang tua kita juga pasti akan menjodohkan kita,” tambahku.
            “Percaya diri sekali kau? Perjodohan kita? Dari mana kau yakin jika sekarang aku tidak memiliki kekasih?” ucapmu dengan tatapan konyol yang menjengkelkan itu lagi. Aku segera memasang wajah masam.
            “Hei hei, jangan memasang wajah imut-imut seperti itu,” ucapmu yang membuatku semakin jengkel dan hampir menangis. “Eh? Bercanda! Jangan menangis!” ucapmu panik seraya menghampiriku lalu mengusap kepalaku. “Aku hanya bercanda. Tentu saja aku akan....................”
            Saat itu kau mengucapkan hal yang sangat ingin aku dengar tetapi sambil diselingi tawa konyol.
□□□
            Setelah semua itu, kau memboncengku kembali menuju desa, dengan posisi seperti tadi. Hanya saja kali ini tangan kiriku memeluk pinggangmu. Tidak canggung seperti sebelumnya.
            Saat di tengah perjalanan, aku memandang ke arah wajahmu, bersamaan dengan kau juga yang sedang melirik ke arahku. Entah perasaan apa yang membuatku tiba-tiba memajukan wajahku ke wajahmu sambil perlahan menutup mata. Sekilas aku juga bisa melihat kau memajukan wajahmu ke wajahku sambil ikut menutup mata.
            Hangat. Terasa hangat. Sentuhan ini, perasaan ini.... tunggu, jika seperti ini, bagaimana dengan sepedanya? Aku segera menarik wajahku menjauhi wajahmu dengan panik.
            “Sepedanya!” ucapku cukup nyaring. Kau langsung membuka mata dan memasang ekspresi panik.
            Terlambat. Kita berdua keluar dari jalan tanah itu lalu jatuh ke rerumputan empuk di pinggir jalan. Kita sama-sama jatuh terlentang berdekatan sementara sepedamu terseret agak jauh. Tidak sakit, malah terasa menyenangkan. Sesaat kemudian kita tertawa bersamaan.
            “Dasar, gara-gara kau, kita jadi terjatuh,” ucapmu sambil menjulurkan lidah kepadaku yang masih dalam posisi telentang di sebelahmu.
            “Huh, kau juga menginginkannya, kan!” ucapku kemudian.
            Setelah itu kita berbicara seharian hingga siang hari yang terik. Berbicara tentang bermacam-macam hal sambil tidur-tiduran di rerumputan ini...
□□□
©2013 by Hikaru Xifos, Ray



0 komentar:

Posting Komentar

...........................

Popular Posts

Recent Posts

Click to view my Personality Profile page

Unordered List

"Nilai gak penting, pengetahuan dan wawasan itu yang penting."

Categories

Text Widget

Me.....

Foto saya
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia
Seorang mahasiswa Pendidikan Matematika yang berusaha untuk menyelamatkan umat manusia dari serangan alien hingga akhirnya sebuah meteor jatuh ke ladang gandum dan jadilah sebuah sereal seperti iklan di televisi.

Followers.....