1.
Kode
Aku mengetuk-ngetukkan
ujung pulpenku ke atas meja sambil tetap fokus memandangi setiap
kumpulan soal latihan yang ada pada diktat. Tidak ada yang berubah,
soal itu tetap tidak terjawab. Ah, tentu saja, jawaban tidak muncul
dari langit begitu saja jika aku tidak mencarinya.
Aku sudah bersiap
mencoret-coret di selembar kertas buram, berharap mendapatkan sebuah
pencerahan, tetapi seorang pemuda memanggilku dengan nada sedikit
memelas.
“Ris,” ucapnya
memanggilku.
Aku mendongakkan kepalaku
lalu memandang ke arah seorang pemuda yang tengah berdiri di depanku.
Aku baru sadar, ruangan kuliah ternyata sudah kosong dari tadi. Aku
terlalu asyik di duniaku sendiri bersama kumpulan soal-soal.
“Ya?” jawabku.
Ia menarik kursi yang ada
di sebelahku lalu meletakkan tepat di hadapanku lalu duduk dengan
ekspresi wajah serius, terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Nih, aku mau ngebahas
gadis 'itu',” ucapnya memulai pembicaraan. Baiklah, aku sudah tahu
akan ke mana arah pembicaraan ini. Aku meletakkan pulpen dan berusaha
menjadi pendengar yang baik. “Aku tetap gak berani ngungkapin
perasaan aku ke dia,” lanjutnya dengan nada kecewa.
“Udah seminggu ini kamu
ngebahas itu cewek melulu. Kamu kan cowok, agresif dikit 'napa, sih?”
ucapku memberi saran seadanya, lengkap dengan tampang malasku.
“Tetap aja gak bisa.
Setiap di dekat dia, aku malah bersikap acuh, bahkan gak berani
ngelihat ke muka dia kalau lagi bicara bareng,” ucapnya sambil
menggaruk-garuk kepala. Terlihat ada ekspresi kecewa di wajahnya.
Begitu mengenaskan. “Lagian, dia juga gak ada ngasih kode harapan
gitu.”
Kode? Memangnya anak
pramuka?
“Trus?” tanyaku,
kalem.
“Yah, aku sendiri gak
bersikap begitu spesial ke dia, sih,” lanjutnya. “Mungkin, itu
kali, ya, yang ngebuat dia gak tau perasaan aku?”
Oh, nyadar juga ini anak
rupanya.
“Lah, tuh kamu nyadar
aja. Bersikap layaknya pahlawan ajalah, biarkan dia tau perasaan
kamu,” ucapku memberi saran, tetap dengan nada kalem.
“Kamu benar,” ia
memberi komentar, “oke, bakal aku coba!” ucapnya mantap sambil
bangkit berdiri. “Thanks,
aku pergi dulu.”
“Yo,” jawabku santai
sambil memberi lambaian hormat kepadanya hingga ia berjalan keluar
ruangan.
Sesaat kemudian aku
termenung. Apa akan berjalan mulus? Ah, biarkan mengalir apa adanya.
Beberapa menit berlalu, aku sudah siap mencoret-coret untuk
mengerjakan soal hingga kembali panggilan itu datang. Kali ini
suaranya cukup lembut.
“Ris,” ucap seseorang
memanggilku.
Aku sekali lagi
mendongakkan kepala, kali ini sambil langsung meletakkan pulpen.
Tampak seorang gadis berdiri di dekatku dengan wajah sedikit “suram”.
“Ya?”
Ia langsung duduk di
bangku yang barusan juga diduduki oleh pemuda tadi.
“Ini... tentang cowok
yang ‘itu’,” ucapnya memulai topik pembicaraan. “Hubungan
kami tetap terjebak kayak pertemanan biasa.”
“Kenapa bisa kayak
'gitu?”
“Dia gak pernah
bersikap spesial ke aku, perlakuannya sama aja kayak ke cewek-cewek
yang lain,” terangnya sambil memasang wajah masam.
“Memangnya kamu udah
ngapain aja supaya dia tertarik sama kamu?” tanyaku datar.
“Yah... aku udah niat
aja, sih, ngasih kode, tapi pas mau ngelakuin, malah gak berani dan
malu,” ucapnya, “malah jadi kayak terkesan acuh gitu.”
“Ck, kamu, kan cewek,
kasihlah tanda kalau kamu tertarik dengan tuh cowok,” ucapku
memberi saran. “Minimal kasihlah kode sedikit,” aku memberi ide
standar. Terasa banget kayak ngajar anak-anak pramuka, nih.
“Oke, deh. Ntar aku
coba kalau ketemu dia,” ucapnya sambil bangkit berdiri. “Udah,
ya. Aku pergi dulu.”
“Yo,” sahutku sambil
melihatnya berjalan keluar dari ruangan.
Seperginya gadis itu
akupun tertegun. Apa bisa berjalan lancar?
Dua puluh menit sudah
berlalu sejak gadis itu keluar dari ruangan ini. Lingkungan kampus
sudah cukup sepi. Aku memutuskan untuk pulang. Saat keluar dari
ruangan, aku memandang jauh ke seberang, ke arah depan ruangan sana.
Pada masing-masing ujung
kursi panjang itu mereka berdua duduk, hanya terpaut jarak lima
meter. Pemuda itu asyik memainkan handphone
miliknya sedangkan gadis itu terlihat acuh tak acuh sambil membaca
sebuah buku kumpulan cerpen.
Entahlah, jika kau
melihatnya dan tidak tahu kejadian yang sebenarnya, mungkin kau akan
mengira mereka berdua hanyalah mahasiswa yang berada di kampus yang
sama tetapi tidak saling mengenal. Aku menarik napas panjang lalu
berjalan pergi menjauh dari ruanganku barusan.
2.
Foto
Sudah sejak awal kuliah
kedua orang ini berdebat hal-hal konyol. Inilah yang membuatku tidak
nyaman duduk di belakang. Sudah satu jam aku mendengar kedua orang
yang tepat duduk bersebelahan di depanku ini membicarakan sikap
seorang cowok sebagai apa yang mereka sebut dengan “pacar”.
“Pacar tuh wajib punya
foto pacarnya sendiri. Bahkan, gak aneh juga kalau dijadikan
wallpaper di laptop
atau hape,” cowok yang kanan memberikan argumen pembuka.
“Konyol banget, deh.
Kayak pamer gitu kesannya,” cowok yang kiri mulai menyanggah sambil
menaikkan sebelah alisnya, meragukan argumen cowok yang kanan.
“Bukan, itu bukan
pamer. Cewek tuh senang banget kalau di-spe-si-al-kan sama orang yang
disayanginya!” cowok yang kanan ngotot membela argumennya, bahkan
sampai menambah penekanan pada kata spesial barusan.
Entahlah, di telingaku
hanya terdengar seperti di-”sial”-kan.
“Lah, mereka, kan,
bukan barang,” pemuda yang kiri bersikeras gak setuju.
“Duh, siapa juga yang
nganggap barang, sih??” cowok yang kanan memasang tampang datar.
“Ah, lagian memasang
foto pacar di tempat yang mencolok kayak gitu kesannya malah
berlebihan, deh.”
“Zaman udah berubah,
Bro,” cowok yang
kanan tetap gak mau mengalah. “Kadang, cewek itu nganggap hal-hal
kayak gitu sebagai pembuktian bahwa si cowok benar-benar sayang ke
dia,” lanjutnya mempertahankan argumennya dengan nada yang begitu
yakin dan tatapan yang tajam.
Perdebatan mereka udah
sampai di tingkat yang menarik. Entah kenapa mendengar mereka
berdiskusi lebih menyenangkan daripada memahami masalah kompleks yang
dijelaskan dosen di depan.
“Itu tergantung dari
pemikiran si cewek, sih,” cowok yang kiri tetap terlihat gak
setuju. “Ada juga, kan, cewek yang tetap biasa-biasa aja walaupun
si cowok gak punya satupun foto dia?”
“Hati-hati, kalau cewek
gak merespon apa-apa waktu tau kamu gak punya satupun foto dia,
berarti dia udah bermain-main di belakang kamu,” pemuda yang kanan
tersenyum penuh arti. Pemuda yang kiri itu hanya mengangkat bahu
mendengarnya.
Ah, debat itu berakhir.
Padahal seharusnya pemuda yang kiri bisa memberi argumen yang lebih
hebat.
Beberapa puluh menit
kemudian akhirnya mata kuliah dengan 3 SKS ini berakhir juga. Aku
sibuk mencatat beberapa hal penting di papan tulis yang tidak sempat
aku tulis gara-gara mendengar perdebatan hebat tadi. Ruangan sudah
sepi.
Setelah selesai, aku
menyimpan semua barang-barangku. Tunggu, apa itu? Mataku menangkap
ada sesuatu di bawah sana. Ada sebuah binder yang terjatuh di bawah
kursi yang diduduki oleh salah satu dari kedua pemuda tadi. Dilihat
dari nama yang tertulis, ini milik pemuda yang duduk di kiri.
Sepertinya terjatuh gara-gara berebutan untuk keluar tadi, ya? Tidak
ada yang menyadarinya.
Aku iseng membuka binder
itu secara acak. Ng... pada sekitar halaman paling belakang ada
sebuah foto gadis manis yang tengah tersenyum lembut ke arah kamera.
Ada foto lain juga yang ditempel pada kertas halaman binder ini. Foto
mereka berdua. Aku menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum lalu
menutup binder itu.
Setiap orang punya cara
sendiri untuk mengistimewakan orang yang disayanginya. Cukup kau yang
tahu.
3.
SMS
“Terlalu manis, sih”
gadis di sebelahku akhirnya berkomentar sambil memasang ekspresi
wajah meringis setelah mencicipi es campur yang kami beli di kantin.
“Gak heran orang di
kota banyak yang kena diabetes,” ucapku berkomentar disusul dengan
tawa geli dari gadis itu.
Kami baru saja akan
meninggalkan kantin sebelum akhirnya seorang pemuda datang mendekati
kami sambil berlari kecil.
“Ris!” ucapnya
memanggil namaku sambil mengatur napasnya sejenak.
“Kenapa?” tanyaku.
Sepintas aku bisa melihat ada ekspresi gembira dari wajahnya.
“Cewek yang ‘itu’
ngirim SMS ke aku,” ucapnya dengan nada penuh semangat sambil
menunjukkan sebuah SMS di layar handphone
miliknya.
Aku membaca SMS itu
dengan cepat. Gadis di sebelahku juga menjadi penasaran lalu ikut
mengintip SMS yang aku baca. SMS itu berisi pesan yang menanyakan
kabar dan keadaan orang yang dikirimi SMS, lengkap dengan emoticon
yang melambangkan keceriaan kayak: :D :) .
“PDKT aku selama ini
lewat SMS kayaknya lumayan sukses, deh. Walaupun di awal-awal agak
sulit karena dia cuek banget,” ucap pemuda itu dengan nada gembira
dan senyum mengembang di bibirnya.
“Yah, selamat, deh,
kalau gitu,” ucapku. “Lanjutkan aja perjuangannya.”
“Iya, dong. Udah, ya,
aku pergi dulu,” ucapnya sambil melambaikan tangan lalu berlari
pergi menuju ruangan.
Sesaat aku terdiam. Gadis
di sebelahku melirik ke arahku dengan pandangan sedikit sayu.
“Hei, SMS yang dia
dapat itu isinya sama persis dengan yang kita terima juga, kan?”
tanya gadis itu pelan. Aku mengangguk pelan tanpa memandang ke arah
wajahnya.
“Bukan cuma kita, semua
alumni SMA kita dulu juga mendapatkan SMS yang sama,” ucapku pelan.
“Itu...”
“Kadang ada saat di
mana kita harus gak terlalu banyak berharap dan memutuskan untuk
berhenti berharap,” ucapku lirih sambil melirik ke arah gadis di
sebelahku. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya memberikan tatapan
mata yang begitu sayu tapi memberikan kesan bahwa ia mengerti apa
yang kuucapkan.
4.
Ting Nong
Aku melirik ke setiap
sudut ruangan dengan teliti. Aman. Gak kelihatan satupun
teman-temanku terlihat. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak
diinginkan, aku juga sudah menonaktifkan handphone
milikku. Kini sudah benar-benar aman. Aku bisa menikmati nasi goreng
di hadapanku tanpa gangguan.
Malam
yang lumayan dingin, aku duduk sendiri di sebuah meja rumah makan
untuk menikmati nasi goreng yang terlihat nikmat ini. Suasana
tidaklah terlalu ramai, hanya ada beberapa pasang muda-mudi yang
makan bersama dan salah satu dari pasangan itu sedang duduk di meja
yang berada di depanku. Posisi mereka duduk saling berhadapan dan aku
bisa melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan dan bisa mendengar
apa yang mereka bicarakan.
Jujur,
aku gak kenal siapa mereka walaupun kami seumuran, tapi dari
pembicaraan mereka, aku malah bisa tau nama pendek mereka. Yang cowok
namanya Say, dan yang cewek namanya Beb. Namanya kedengaran aneh, ya?
Aku juga bingung, tapi itu yang kudengar. Beneran, deh!
Mereka
berdua kayaknya cuma memesan masing-masing segelas jus buah jeruk.
“Say,
minggu depan kita ke mana lagi?” tanya Beb pada Say sambil
memandang dengan tatapan penasaran. Tepat saat ia selesai bertanya,
handphone
miliknya yang ia letakkan di meja langsung berbunyi dengan nada mirip
seperti suara Ultraman saat hampir meninggalkan bumi. Beb segera
mengambil handphone
untuk memeriksa.
“Jalan-jalan
kayak biasa aja, Beb,” jawab Say kalem sambil mengalihkan
pandangannya ke arah Beb. Sejenak ia terdiam saat menyadari Say
sedang tersenyum kecil sambil mengetik sesuatu di handphone.
“Oh,
iya,” jawab Beb tanpa sedikitpun mengalihkan matanya dari layar
handphone.
Dikacangin,
batinku sambil mengunyah nasi goreng di dalam mulutnya.
“Eh,
tau gak? Bla bla bla bla bla,” Beb bercerita panjang lebar mengenai
suatu topik kepada Say sambil tetap mengamati layar handphone.
Setelah selesai berbicara, ia meletakkan handphone
itu kembali ke meja lalu menyeruput jus jeruk di mejanya.
“Oh,
gitu ya?” Say mengomentari apa yang diucapkan oleh Beb sambil
menarik napas panjang. Ekspresi wajahnya terlihat begitu tidak
tenang, sesekali jemari tangan kanannya ia ketuk-ketukkan di atas
meja. “Terus, bla bla bla bla bla,” Say kembali membahas apa yang
diucapkan Beb barusan.
Baru
saja Say sukses menyelesaikan kalimatnya, nada khas dari handphone
milik Beb kembali terdengar. Kembali adegan sebelumnya terjadi lagi.
Say hanya membuang napas pendek seraya menyandarkan punggungnya ke
kursi lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya tampak
bosan. Sangat.
Aku
hanya memandang datar kejadian itu sambil mengunyah nasi goreng yang
ada di mulutku. Yah, gitu aja terus sampai ada meteor jatuh ke ladang
gandum dan jadilah sebuah sereal kayak iklan di televisi.
5.
Pengisi Suara
Suasana
sore yang teduh di sebuah taman. Aku dan temanku, Thomas, sedang
asyik duduk bercerita suatu topik yang gak jelas.
Tak
jauh dari tempat kami berdua, tampak sepasang muda-mudi belia yang
kutaksir masih SMA tampak asyik berbicara sambil sesekali
bersenggolan bahu. Mereka berdua tampak duduk berdekatan di sebuah
kursi, di bawah pohon rindang di ujung sana. Awalnya aku tidak
tertarik lagi untuk memerhatikan mereka karena itu merupakan hal yang
biasa. Hingga akhirnya beberapa menit kemudian Thomas mulai bicara.
“Ah,
lepasin!” ucap Thomas dengan nada manja yang dibuat-buat. Aku
segera menoleh ke arah Thomas karena bingung dengan apa yang
diucapkannya. Tampak ia sedang memerhatikan dua pasangan itu.
Aku
ikut menoleh dan melihat bahwa si cowok sedang berusaha seperti
menarik tangan si cewek. Ah, si cewek lagi ngambek.
“Maafin
aku, yank,” ucapku mengikuti gerakan mulut si cowok saat ia sedang
berusaha merayu si cewek. Kelihatannya pasangan labil itu lagi ada
masalah.
Si
cewek menarik paksa tangannya lalu berjalan menjauhi si cowok dengan
wajah kesal.
“Yank,
tunggu aku,” ucapku saat si cowok mengejar si cewek dengan wajah
panik sambil melewati kami.
“Cukup!
Kamu gak pernah bisa ngertiin aku!” ucap Thomas sambil menahan tawa
saat si cewek bergumam dan tak mengacuhkan si cowok.
Si
cowok sempat melirik ke arah kami berdua tapi aku dan Thomas
pura-pura gak tau apa-apa. Saat si cowok menjauh, kami berdua
tertawa terbahak-bahak. Cukup, ini memang gak jelas. Sangat.
0 komentar:
Posting Komentar
...........................