Jumat, 27 Maret 2015

 3/27/2015 06:40:00 PM         No comments
1. Kode
Aku mengetuk-ngetukkan ujung pulpenku ke atas meja sambil tetap fokus memandangi setiap kumpulan soal latihan yang ada pada diktat. Tidak ada yang berubah, soal itu tetap tidak terjawab. Ah, tentu saja, jawaban tidak muncul dari langit begitu saja jika aku tidak mencarinya.
Aku sudah bersiap mencoret-coret di selembar kertas buram, berharap mendapatkan sebuah pencerahan, tetapi seorang pemuda memanggilku dengan nada sedikit memelas.
“Ris,” ucapnya memanggilku.
Aku mendongakkan kepalaku lalu memandang ke arah seorang pemuda yang tengah berdiri di depanku. Aku baru sadar, ruangan kuliah ternyata sudah kosong dari tadi. Aku terlalu asyik di duniaku sendiri bersama kumpulan soal-soal.
 
“Ya?” jawabku.
Ia menarik kursi yang ada di sebelahku lalu meletakkan tepat di hadapanku lalu duduk dengan ekspresi wajah serius, terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Nih, aku mau ngebahas gadis 'itu',” ucapnya memulai pembicaraan. Baiklah, aku sudah tahu akan ke mana arah pembicaraan ini. Aku meletakkan pulpen dan berusaha menjadi pendengar yang baik. “Aku tetap gak berani ngungkapin perasaan aku ke dia,” lanjutnya dengan nada kecewa.
“Udah seminggu ini kamu ngebahas itu cewek melulu. Kamu kan cowok, agresif dikit 'napa, sih?” ucapku memberi saran seadanya, lengkap dengan tampang malasku.
“Tetap aja gak bisa. Setiap di dekat dia, aku malah bersikap acuh, bahkan gak berani ngelihat ke muka dia kalau lagi bicara bareng,” ucapnya sambil menggaruk-garuk kepala. Terlihat ada ekspresi kecewa di wajahnya. Begitu mengenaskan. “Lagian, dia juga gak ada ngasih kode harapan gitu.”
Kode? Memangnya anak pramuka?
“Trus?” tanyaku, kalem.
“Yah, aku sendiri gak bersikap begitu spesial ke dia, sih,” lanjutnya. “Mungkin, itu kali, ya, yang ngebuat dia gak tau perasaan aku?”
Oh, nyadar juga ini anak rupanya.
“Lah, tuh kamu nyadar aja. Bersikap layaknya pahlawan ajalah, biarkan dia tau perasaan kamu,” ucapku memberi saran, tetap dengan nada kalem.
“Kamu benar,” ia memberi komentar, “oke, bakal aku coba!” ucapnya mantap sambil bangkit berdiri. “Thanks, aku pergi dulu.”
“Yo,” jawabku santai sambil memberi lambaian hormat kepadanya hingga ia berjalan keluar ruangan.
Sesaat kemudian aku termenung. Apa akan berjalan mulus? Ah, biarkan mengalir apa adanya. Beberapa menit berlalu, aku sudah siap mencoret-coret untuk mengerjakan soal hingga kembali panggilan itu datang. Kali ini suaranya cukup lembut.
“Ris,” ucap seseorang memanggilku.
Aku sekali lagi mendongakkan kepala, kali ini sambil langsung meletakkan pulpen. Tampak seorang gadis berdiri di dekatku dengan wajah sedikit “suram”.
“Ya?”
Ia langsung duduk di bangku yang barusan juga diduduki oleh pemuda tadi.
“Ini... tentang cowok yang ‘itu’,” ucapnya memulai topik pembicaraan. “Hubungan kami tetap terjebak kayak pertemanan biasa.”
“Kenapa bisa kayak 'gitu?”
“Dia gak pernah bersikap spesial ke aku, perlakuannya sama aja kayak ke cewek-cewek yang lain,” terangnya sambil memasang wajah masam.
“Memangnya kamu udah ngapain aja supaya dia tertarik sama kamu?” tanyaku datar.
“Yah... aku udah niat aja, sih, ngasih kode, tapi pas mau ngelakuin, malah gak berani dan malu,” ucapnya, “malah jadi kayak terkesan acuh gitu.”
“Ck, kamu, kan cewek, kasihlah tanda kalau kamu tertarik dengan tuh cowok,” ucapku memberi saran. “Minimal kasihlah kode sedikit,” aku memberi ide standar. Terasa banget kayak ngajar anak-anak pramuka, nih.
“Oke, deh. Ntar aku coba kalau ketemu dia,” ucapnya sambil bangkit berdiri. “Udah, ya. Aku pergi dulu.”
“Yo,” sahutku sambil melihatnya berjalan keluar dari ruangan.
Seperginya gadis itu akupun tertegun. Apa bisa berjalan lancar?
Dua puluh menit sudah berlalu sejak gadis itu keluar dari ruangan ini. Lingkungan kampus sudah cukup sepi. Aku memutuskan untuk pulang. Saat keluar dari ruangan, aku memandang jauh ke seberang, ke arah depan ruangan sana.
Pada masing-masing ujung kursi panjang itu mereka berdua duduk, hanya terpaut jarak lima meter. Pemuda itu asyik memainkan handphone miliknya sedangkan gadis itu terlihat acuh tak acuh sambil membaca sebuah buku kumpulan cerpen.
Entahlah, jika kau melihatnya dan tidak tahu kejadian yang sebenarnya, mungkin kau akan mengira mereka berdua hanyalah mahasiswa yang berada di kampus yang sama tetapi tidak saling mengenal. Aku menarik napas panjang lalu berjalan pergi menjauh dari ruanganku barusan.

2. Foto
Sudah sejak awal kuliah kedua orang ini berdebat hal-hal konyol. Inilah yang membuatku tidak nyaman duduk di belakang. Sudah satu jam aku mendengar kedua orang yang tepat duduk bersebelahan di depanku ini membicarakan sikap seorang cowok sebagai apa yang mereka sebut dengan “pacar”.
“Pacar tuh wajib punya foto pacarnya sendiri. Bahkan, gak aneh juga kalau dijadikan wallpaper di laptop atau hape,” cowok yang kanan memberikan argumen pembuka.
“Konyol banget, deh. Kayak pamer gitu kesannya,” cowok yang kiri mulai menyanggah sambil menaikkan sebelah alisnya, meragukan argumen cowok yang kanan.
“Bukan, itu bukan pamer. Cewek tuh senang banget kalau di-spe-si-al-kan sama orang yang disayanginya!” cowok yang kanan ngotot membela argumennya, bahkan sampai menambah penekanan pada kata spesial barusan.
Entahlah, di telingaku hanya terdengar seperti di-”sial”-kan.
“Lah, mereka, kan, bukan barang,” pemuda yang kiri bersikeras gak setuju.
“Duh, siapa juga yang nganggap barang, sih??” cowok yang kanan memasang tampang datar.
“Ah, lagian memasang foto pacar di tempat yang mencolok kayak gitu kesannya malah berlebihan, deh.”
“Zaman udah berubah, Bro,” cowok yang kanan tetap gak mau mengalah. “Kadang, cewek itu nganggap hal-hal kayak gitu sebagai pembuktian bahwa si cowok benar-benar sayang ke dia,” lanjutnya mempertahankan argumennya dengan nada yang begitu yakin dan tatapan yang tajam.
Perdebatan mereka udah sampai di tingkat yang menarik. Entah kenapa mendengar mereka berdiskusi lebih menyenangkan daripada memahami masalah kompleks yang dijelaskan dosen di depan.
“Itu tergantung dari pemikiran si cewek, sih,” cowok yang kiri tetap terlihat gak setuju. “Ada juga, kan, cewek yang tetap biasa-biasa aja walaupun si cowok gak punya satupun foto dia?”
“Hati-hati, kalau cewek gak merespon apa-apa waktu tau kamu gak punya satupun foto dia, berarti dia udah bermain-main di belakang kamu,” pemuda yang kanan tersenyum penuh arti. Pemuda yang kiri itu hanya mengangkat bahu mendengarnya.
Ah, debat itu berakhir. Padahal seharusnya pemuda yang kiri bisa memberi argumen yang lebih hebat.
Beberapa puluh menit kemudian akhirnya mata kuliah dengan 3 SKS ini berakhir juga. Aku sibuk mencatat beberapa hal penting di papan tulis yang tidak sempat aku tulis gara-gara mendengar perdebatan hebat tadi. Ruangan sudah sepi.
Setelah selesai, aku menyimpan semua barang-barangku. Tunggu, apa itu? Mataku menangkap ada sesuatu di bawah sana. Ada sebuah binder yang terjatuh di bawah kursi yang diduduki oleh salah satu dari kedua pemuda tadi. Dilihat dari nama yang tertulis, ini milik pemuda yang duduk di kiri. Sepertinya terjatuh gara-gara berebutan untuk keluar tadi, ya? Tidak ada yang menyadarinya.
Aku iseng membuka binder itu secara acak. Ng... pada sekitar halaman paling belakang ada sebuah foto gadis manis yang tengah tersenyum lembut ke arah kamera. Ada foto lain juga yang ditempel pada kertas halaman binder ini. Foto mereka berdua. Aku menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum lalu menutup binder itu.
Setiap orang punya cara sendiri untuk mengistimewakan orang yang disayanginya. Cukup kau yang tahu.

3. SMS
“Terlalu manis, sih” gadis di sebelahku akhirnya berkomentar sambil memasang ekspresi wajah meringis setelah mencicipi es campur yang kami beli di kantin.
“Gak heran orang di kota banyak yang kena diabetes,” ucapku berkomentar disusul dengan tawa geli dari gadis itu.
Kami baru saja akan meninggalkan kantin sebelum akhirnya seorang pemuda datang mendekati kami sambil berlari kecil.
“Ris!” ucapnya memanggil namaku sambil mengatur napasnya sejenak.
“Kenapa?” tanyaku. Sepintas aku bisa melihat ada ekspresi gembira dari wajahnya.
“Cewek yang ‘itu’ ngirim SMS ke aku,” ucapnya dengan nada penuh semangat sambil menunjukkan sebuah SMS di layar handphone miliknya.
Aku membaca SMS itu dengan cepat. Gadis di sebelahku juga menjadi penasaran lalu ikut mengintip SMS yang aku baca. SMS itu berisi pesan yang menanyakan kabar dan keadaan orang yang dikirimi SMS, lengkap dengan emoticon yang melambangkan keceriaan kayak: :D :) .
“PDKT aku selama ini lewat SMS kayaknya lumayan sukses, deh. Walaupun di awal-awal agak sulit karena dia cuek banget,” ucap pemuda itu dengan nada gembira dan senyum mengembang di bibirnya.
“Yah, selamat, deh, kalau gitu,” ucapku. “Lanjutkan aja perjuangannya.”
“Iya, dong. Udah, ya, aku pergi dulu,” ucapnya sambil melambaikan tangan lalu berlari pergi menuju ruangan.
Sesaat aku terdiam. Gadis di sebelahku melirik ke arahku dengan pandangan sedikit sayu.
“Hei, SMS yang dia dapat itu isinya sama persis dengan yang kita terima juga, kan?” tanya gadis itu pelan. Aku mengangguk pelan tanpa memandang ke arah wajahnya.
“Bukan cuma kita, semua alumni SMA kita dulu juga mendapatkan SMS yang sama,” ucapku pelan.
“Itu...”
“Kadang ada saat di mana kita harus gak terlalu banyak berharap dan memutuskan untuk berhenti berharap,” ucapku lirih sambil melirik ke arah gadis di sebelahku. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya memberikan tatapan mata yang begitu sayu tapi memberikan kesan bahwa ia mengerti apa yang kuucapkan.

4. Ting Nong
Aku melirik ke setiap sudut ruangan dengan teliti. Aman. Gak kelihatan satupun teman-temanku terlihat. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, aku juga sudah menonaktifkan handphone milikku. Kini sudah benar-benar aman. Aku bisa menikmati nasi goreng di hadapanku tanpa gangguan.
Malam yang lumayan dingin, aku duduk sendiri di sebuah meja rumah makan untuk menikmati nasi goreng yang terlihat nikmat ini. Suasana tidaklah terlalu ramai, hanya ada beberapa pasang muda-mudi yang makan bersama dan salah satu dari pasangan itu sedang duduk di meja yang berada di depanku. Posisi mereka duduk saling berhadapan dan aku bisa melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan dan bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
Jujur, aku gak kenal siapa mereka walaupun kami seumuran, tapi dari pembicaraan mereka, aku malah bisa tau nama pendek mereka. Yang cowok namanya Say, dan yang cewek namanya Beb. Namanya kedengaran aneh, ya? Aku juga bingung, tapi itu yang kudengar. Beneran, deh!
Mereka berdua kayaknya cuma memesan masing-masing segelas jus buah jeruk.
“Say, minggu depan kita ke mana lagi?” tanya Beb pada Say sambil memandang dengan tatapan penasaran. Tepat saat ia selesai bertanya, handphone miliknya yang ia letakkan di meja langsung berbunyi dengan nada mirip seperti suara Ultraman saat hampir meninggalkan bumi. Beb segera mengambil handphone untuk memeriksa.
“Jalan-jalan kayak biasa aja, Beb,” jawab Say kalem sambil mengalihkan pandangannya ke arah Beb. Sejenak ia terdiam saat menyadari Say sedang tersenyum kecil sambil mengetik sesuatu di handphone.
“Oh, iya,” jawab Beb tanpa sedikitpun mengalihkan matanya dari layar handphone.
Dikacangin, batinku sambil mengunyah nasi goreng di dalam mulutnya.
“Eh, tau gak? Bla bla bla bla bla,” Beb bercerita panjang lebar mengenai suatu topik kepada Say sambil tetap mengamati layar handphone. Setelah selesai berbicara, ia meletakkan handphone itu kembali ke meja lalu menyeruput jus jeruk di mejanya.
“Oh, gitu ya?” Say mengomentari apa yang diucapkan oleh Beb sambil menarik napas panjang. Ekspresi wajahnya terlihat begitu tidak tenang, sesekali jemari tangan kanannya ia ketuk-ketukkan di atas meja. “Terus, bla bla bla bla bla,” Say kembali membahas apa yang diucapkan Beb barusan.
Baru saja Say sukses menyelesaikan kalimatnya, nada khas dari handphone milik Beb kembali terdengar. Kembali adegan sebelumnya terjadi lagi. Say hanya membuang napas pendek seraya menyandarkan punggungnya ke kursi lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya tampak bosan. Sangat.
Aku hanya memandang datar kejadian itu sambil mengunyah nasi goreng yang ada di mulutku. Yah, gitu aja terus sampai ada meteor jatuh ke ladang gandum dan jadilah sebuah sereal kayak iklan di televisi.

5. Pengisi Suara
Suasana sore yang teduh di sebuah taman. Aku dan temanku, Thomas, sedang asyik duduk bercerita suatu topik yang gak jelas.
Tak jauh dari tempat kami berdua, tampak sepasang muda-mudi belia yang kutaksir masih SMA tampak asyik berbicara sambil sesekali bersenggolan bahu. Mereka berdua tampak duduk berdekatan di sebuah kursi, di bawah pohon rindang di ujung sana. Awalnya aku tidak tertarik lagi untuk memerhatikan mereka karena itu merupakan hal yang biasa. Hingga akhirnya beberapa menit kemudian Thomas mulai bicara.
“Ah, lepasin!” ucap Thomas dengan nada manja yang dibuat-buat. Aku segera menoleh ke arah Thomas karena bingung dengan apa yang diucapkannya. Tampak ia sedang memerhatikan dua pasangan itu.
Aku ikut menoleh dan melihat bahwa si cowok sedang berusaha seperti menarik tangan si cewek. Ah, si cewek lagi ngambek.
“Maafin aku, yank,” ucapku mengikuti gerakan mulut si cowok saat ia sedang berusaha merayu si cewek. Kelihatannya pasangan labil itu lagi ada masalah.
Si cewek menarik paksa tangannya lalu berjalan menjauhi si cowok dengan wajah kesal.
“Yank, tunggu aku,” ucapku saat si cowok mengejar si cewek dengan wajah panik sambil melewati kami.
“Cukup! Kamu gak pernah bisa ngertiin aku!” ucap Thomas sambil menahan tawa saat si cewek bergumam dan tak mengacuhkan si cowok.
Si cowok sempat melirik ke arah kami berdua tapi aku dan Thomas pura-pura gak tau apa-apa. Saat si cowok menjauh, kami berdua tertawa terbahak-bahak. Cukup, ini memang gak jelas. Sangat.


0 komentar:

Posting Komentar

...........................

Popular Posts

Recent Posts

Click to view my Personality Profile page

Unordered List

"Nilai gak penting, pengetahuan dan wawasan itu yang penting."

Categories

Text Widget

Me.....

Foto saya
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia
Seorang mahasiswa Pendidikan Matematika yang berusaha untuk menyelamatkan umat manusia dari serangan alien hingga akhirnya sebuah meteor jatuh ke ladang gandum dan jadilah sebuah sereal seperti iklan di televisi.

Followers.....