Spider-Man:
Masalah Kehidupan
Hari yang cerah, rumah
sedang kosong jika sedang tengah hari seperti ini. Aku menyalakan
televisi untuk menonton saluran kesukaanku, Fox Movies, HBO, ataupun
Celestial Movies. Di HBO rupanya baru saja dimulai film The Amazing
Spider-Man 2.
Spidey berayun
kesana-kemari mengejar truk pembawa plutonium yang dibajak oleh
sekawanan penjahat. Di saat yang bersamaan ia sebenarnya harus
menghadiri wisuda SMA dan sudah-cukup-lumayan-terlambat. Setelah
adegan action yang
dipenuhi efek spesial canggih dan kekonyolan Spidey, para penjahat
pun “diamankan” menggunakan jaring dan ia berhasil menghadiri
wisuda tepat waktu saat namanya dipanggil lalu mencium Gwen di
hadapan banyak orang.
Setelah ia melepas
topeng, ia tetaplah Peter Parker, seorang manusia yang penuh dengan
masalah kehidupan. Masalah keluarga (betapa misteriusnya orang tua
Peter), masalah percintaan (hubungan dengan Gwen yang makin rumit),
dan masalah-masalah lainnya (musuhnya adalah sahabatnya sendiri).
Yeah, rumit.
□□□
Yo, apa kabar, para
pembaca? Lama gak menulis di blog nih. Libur semester yang panjang
membuat saya berasa terbang di surga. Libur yang lumayan panjang ini
sebagian besar saya isi dengan menonton televisi. Seminggu selama
liburan, entah kenapa Fox Movies dan HBO bergantian menayangkan
trilogi Spider-Man dan The Amazing Spider-Man 1 dan 2. Oke, waktunya
saya curhat dikit.
Spider-Man. Kalau
kalian mendengar kata ini, mungkin sebagian besar dari kalian udah
bisa membayangkan apa itu Spider-Man. Manusia dalam kostum (yang
umumnya diketahui) berwarna merah-biru, bisa mengeluarkan jaring dari
tangannya, dan berayun kesana-kemari. Minimal kalau gak pernah nonton
filmnya, pasti udah pernah ngelihat gambarnya.
Jujur, biarpun tampang
saya abstrak dan suka produk animasi atau komik Jepang, saya juga
suka yang dari Amerika kok, terutama yang dari Marvel. Buat yang
belum tau, Marvel itu penerbit komik (juga merambat ke perfilman).
Kalau kalian udah nonton Fantastic 4, X-Men, Avengers, Iron Man,
Thor, Hulk, Captain America, dan Spider-Man, kalian pasti bakal lihat
ada logo MARVEL warna merah di awal film. Ya, semua film itu awalnya
dari komik Marvel yang laris manis lalu dijadikan film.
Dalam perfilman, ada yang
namanya lisensi (kalau gak ngerti, googling sana). Buat yang belum
tahu, lisensi film Spider-Man ini dipegang sama Sony Pictures
Entertainment (dari trilogi Spider-Man sampai duo The Amazing
Spider-Man). Ini buat menjawab pertanyaan klise kayak: “Kok
Spider-Man gak muncul di Avengers?”. Ya gak bisa lah, kan udah beda
studio yang bikin. Produk Avengers (beserta film-film tokoh di
dalamnya) itu diproduksi sama Marvel sendiri. Bersyukur, pihak Sony
udah “melunak” setelah diskusi bertahun-tahun dengan pihak
Marvel, akhirnya Spidey “diizinkan” buat dipakai sama Marvel
masuk ke dunia filmnya (rencananya udah ada reboot filmnya di 2016
nanti). Guardians of the Galaxy serta Ghost Rider juga komik terbitan
Marvel loh. Di antara banyak karya Marvel, saya paling dan sangat
suka dengan Spider-Man. Banget.
Dulu, waktu zaman masih
SD, kampung saya “digemparkan” dengan kehadiran manusia laba-laba
ini. Jumlah penggemar Spider-Man tergolong paling banyak, terutama di
Amerika. Tahun 2002 filmnya tayang, bisa dibayangkan hebohnya para
penggemar si manusia laba-laba ini di seluruh dunia. Kehebohannya pun
sampai di kampung saya. Gambar, sticker,
motif tas, poster, iklan, semua dipenuhi Spider-Man.
Pada tahun itu, efek di
film ini udah dianggap luar biasa banget loh. Kehebatan Spidey
berayun pake jaring dan action-nya
udah keren banget. Kalau sekarang mah kostumnya udah dicela sama anak
kemarin sore yang cuma kenal The Amazing Spider-Man.
Tahun segitu, saya masih
miskin banget (sekarang juga masih sih). Dekil, abstrak, gaje, dan
hidup pula. Punya TV aja nggak, gimana mau nonton. Cuma bisa ngelihat
Spidey dari gambar dan dengar cerita dari teman-teman yang kebetulan
banget terlahir dari rahim orang kaya raya. Mereka udah pada nonton,
baik di bioskop atau beli CD/DVD. Saya cuma bisa dengar dan
membayangkan kehebatannya berayun-ayun, ngelawan monster terbang (itu
Green Goblin, manusia pake baju tempur dan papan seluncur terbang,
nak), dan lain-lain.
Waktu itu saya taunya
cuma Kamen Rider RX (orang Indonesia bilangnya Satria Baja Hitam RX)
yang numpang nonton di rumah teman tiap pulang sekolah minggu.
Ngelihat ada manusia super pake topeng dan kayak laba-laba, saya jadi
tertarik. Saya cuma bisa mengagumi dan jadi penggemar tanpa pernah
nonton filmnya kayak gimana.
Beberapa tahun kemudian,
keluarga kami udah bisa beli TV, dan pada suatu malam film Spider-Man
tayang di TV. ASTAGAAA... saya cuma bisa kagum setengah mati. Ini
film keren banget bagi saya. Terserah apa kata orang tapi bagi saya
film Spider-Man ini bakal menjadi salah satu film supehero
terbaik tahun 2000 ke atas bagi saya.
Di balik kostum ketat dan
kehebatannya, Spidey tetaplah seorang Peter Parker, seorang pemuda
dengan bermacam masalah. Dia bukanlah Bruce Wayne, si Batman yang
terlahir dari anak orang kaya raya dan mewarisi semua harta orang
tuanya. Bukan pula Tony Stark, si kaya raya nyentrik yang hobi
bermain wanita saat tidak memakai kostum tempur Iron Man. Dia
hanyalah Peter Parker.
Menghadapi masalah
ekonomi yang berat setelah kematian pamannya, Ben. Ditagih untuk
membayar uang sewa yang terlambat, serta harus mendapatkan hati
perempuan yang dicintainya dengan segala kekurangannya.
Supaya pembaca bisa
membayangkan dan gak kebingungan, saya akan mengambil cerita
kehidupan Peter Parker dari versi film trilogi Spider-Man karena pada
versi The Amazing Spider-Man, kehidupan Peter kelihatan “baik-baik”
aja dan terlalu modern.
Kehidupan Peter kelihatan
banget begitu dekat dengan kehidupan kita pada umumnya. Ini yang
lumayan membedakannya dengan superhero
lain sehingga disukai oleh sebagian besar orang, terutama saya.
Bayangin aja, pernah gak main kucing-kucingan dengan ibu kos saat
sadar udah telat bayar uang sewa? Pusing mikir mau makan apa saat
uang jajan habis? Bingung mikir jodoh padahal gak punya modal buat
narik hati cewek? Kehilangan orang yang udah merawat kita dari kecil?
Dianggap penjahat oleh media pemberitaan? Harus menegakkan keadilan
dan membawa kedamaian untuk orang banyak?
Kalau boleh jujur,
kehidupan Peter udah dekat banget dengan kehidupan sebagian besar
orang. Saat saya nonton ini film, saya sempat merasa seolah-olah jadi
si Peter dan masuk ke dunia film, ikut merasakan kesulitan yang
dihadapi Peter.
Pernah gak hidup dengan
masa muda yang begitu kuper dan sering dibully? Sebagian besar orang
pasti pernah merasa minder dan dibully. Entah mindernya gara-gara
ngerasa kalah saing masalah penampilan atau karena faktor ekonomi
(abaikan faktor introvert). Kehidupan emang keras sih. Saya tau
karena saya juga ngerasain.
Saya sendiri kadang
minder bergaul dengan teman-teman yang kebetulan anak orang berduit,
terutama waktu zaman SD. Cuma bisa duduk bengong ngelihatin mereka
makan berkelompok di kantin sementara saya makan pentol satu biji. Oh
iya, uang jajan saya pas SD cuma cukup buat beli pentol dua biji
zaman sekarang, sedangkan uang jajan mereka tiga sampai lima kali
uang jajan saya. Itu tahun dulu banget loh ya.
Yah, minder itu gak enak
dan kadang bisa ngebuat jadi kuper. Saya zaman SD kuper banget
gara-gara gak bisa ngikutin pergaulan. Ya gimana mau bisa, “mainan”
mereka semua ya kelas atas. Saya masih baca komik, mereka udah baca
SMS di HP. HP aja saya belum punya. Saya nongkrong di halaman rumah
main kelereng, mereka nongkrong di kafe minum jus. Jadinya saya jadi
introvert dan ngehabisin waktu baca majalah dan komik.
Di saat anak SD taunya
cuma jajan dan coba-coba pacaran, saya taunya cuma baca ratusan
majalah Bobo dan Donal Bebek yang dibeli per minggu. Di saat
teman-teman udah tau tempat nongkrong yang asyik, saya taunya cuma
komposisi planet-planet di tata surya kita. Tragis.
Semua emang nyesek tapi
bukan alasan buat menyalahkan siapa-siapa. Suatu ketika saya duduk
merenung dan mengingat-ingat game yang saya mainkan. Dalam sebagian
besar game, terutama game online zaman sekarang, kita pasti
bisa memilih karakter yang akan kita gunakan sesuka hati. Membuat
penampilan karakter, membuat nama, memilih jenis kelamin, membuat
latar belakang, dan lain-lain. Apakah hidup seindah itu? Tidak,
kawan. Kita terlahir tanpa bisa memilih. Kita tidak bisa memilih
terlahir dari rahim siapa, tidak bisa memilih nama, kepercayaan,
warna kulit, bentuk muka, dan jenis kelamin. Kita hanya bisa
menentukan bagaimana kita selanjutnya dan seperti apa sifat kita di
kehidupan.
Sama halnya seperti Peter
Parker yang tidak bisa seberuntung Harry Osborn yang terlahir sebagai
anak orang kaya, pemilik perusahaan besar Oscorp. Harry bisa
mendapatkan semuanya hanya dengan menjentikkan jarinya, bahkan mampu
menarik hati setiap gadis yang ia temui. Siapa yang tidak ingin
seperti Harry? Sayangnya kita tidak bisa memilih, kan?
Tenang, kehidupan itu
adil. Mungkin kita emang gak bisa sekaya raya orang yang beruntung
tapi kamu PASTI punya suatu bakat atau kelebihan yang tidak bisa
dibeli dengan uang. Hukum sosial dan hukum alam memang membawa
keseimbangan, di setiap kekuarangan pasti ada kelebihan. Peter memang
tidak sekaya Harry tetapi ia adalah siswa tercerdas dari seluruh
siswa di SMA tempat ia belajar (terutama di bidang Matematika dan
Fisika). Kecerdasan (bagi saya, cerdas dan pintar itu berbeda) adalah
sesuatu yang hanya bisa didapatkan dari kerasnya lika-liku kehidupan.
Ibaratnya, kamu cuma bisa dapat item bagus kalau main game
di level expert. Jangan heran, sekaya-kayanya Harry, ia tidak
bisa membeli kecerdasan seperti milik Peter karena otaknya sudah
terlalu santai “bermain” game di level easy.
Mungkin
kita punya kekurangan pada bidang tertentu tapi itu bukan alasan buat
minder. Kalau dipikir-pikir kita pasti punya kelebihan di bidang
lain. Saya punya teman yang melambaikan tangan kalau udah belajar di
sekolah tapi kalau udah ada lomba atletik antarsekolah, dia pasti
menang. Fokuslah mengembangkan kelebihan ketimbang meratapi
kekurangan. Kadang kala sebagian besar orang justru meratapi
kekurangan ataupun masalah kehidupannya dan lupa bahwa ia masih punya
kelebihan dan hal menyenangkan lainnya.
Diberkahi
kekuatan laba-laba dan berbekal kostum ketat, Peter mulai memberantas
kejahatan jalanan dengan tingkah konyol. Yaps, jika sudah memakai
kostum, ia adalah pahlawan super yang begitu konyol, melupakan semua
masalah kehidupannya. Ini bukan mengajarkan kita untuk berpura-pura
tidak ada masalah saat kita memang ada masalah tetapi mengajarkan
kita untuk melupakan masalah sejenak dan fokus dengan apa yang kita
lakukan sekarang. Jika Spidey masih mengingat-ingat masalah kehidupan
nyatanya, mungkin ia akan kehilangan konsentrasi saat sedang melawan
para penjahat.
Melihat
tulisan di atas, sudah saatnya kita gak perlu terlalu berkecil hari
dengan semua kekurangan dan masalah hidup kita. Saya sendiri merasa
penuh kekurangan, karena itu saya gak akan terlalu pilih-pilih dalam
berteman. Ini bukan zamannya berteman atas dasar tingkat ekonomi,
warna kulit, dan lain-lain karena kita terlahir TANPA bisa memilih.
Gak enak kan ada yang jauhin kamu karena cuma berbeda dengan
mayoritas? Makanya, jangan hakimi orang. Yah, kecuali kalau Anda udah
tercuci otak. Orang yang udah tercuci otak yang gak bakalan mengaku
atau gak bakalan sadar.
Seberat
apapun masalah, fokuslah pada solusinya dan jangan fokus pada
masalahnya. Karena alur hidup pasti memberikan masalah yang tidak
akan berada di luar kemampuan manusia. Lainnya halnya dengan dosen
yang memberikan tugas dan ujian di luar kemampuan mahasiswanya.
Jangan habiskan waktu dengan mengeluh dan menyalahkan nasib. Tidak
semua orang peduli dengan masalahmu walaupun jemarimu keriting
mengetik di status media sosial. Kamu.. iya, kamu.. cuma kamu yang
peduli dengan masalahmu sendiri. Tetap strong, dan berayunlah
seperti Spidey. Sampai jumpa di artikel lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar
...........................