Senin, 02 Juni 2014

 6/02/2014 09:03:00 PM      ,    No comments

Selama Engkau Hidup

Kupandangi jam digital yang ada di pojok kanan bawah monitor laptop milikku sambil menguap lebar.

“Fuuu, udah hampir jam sebelas,” gumamku sambil merenggangkan leher. Dua jam membaca komik digital dengan tatapan terpaku kepada layar itu cukup melelahkan, kawan. Waktunya tidur.

Hei, sepertinya aku melupakan sesuatu. Ah, ya, materi tentang senyawa karbon untuk mata kuliah Kimia Dasar II besok. Aku belum mempelajarinya sama sekali. Fuuu, sudahlah, tidur lebih penting.

Aku bersiap melompat ke atas tempat tidur sebelum akhirnya sebuah SMS masuk ke handphone milikku. Malam-malam begini siapa, ya? Jangan-jangan GoN, seperti biasanya.
Kubuka SMS yang baru masuk itu lalu kubaca dengan cukup cepat. Bukan, bukan dari GoN, tapi dari si Ranger Pink. Isi SMS darinya seolah-olah tak menyangka bahwa aku ulang tahun hari ini, entah sengaja atau memang benar-benar tidak menyangka.

“Ulang tahun?” gumamku sambil mengangkat sebelah alis. Aku bergegas melihat ke kalender yang berada tepat di depan meja belajar... tidak, lebih tepatnya meja yang lebih sering kugunakan untuk menggambar atau membaca komik. “Sudah dua Juni? Tidak, masih satu jam lagi,” ucapku tertegun.

Eh? Aku ulang tahun? Aku sempat mematung beberapa saat karena sebenarnya aku sendiri hampir lupa kapan aku ulang tahun karena akhir-akhir ini sudah jarang melihat kalender. Hampir setengah jam aku tidak membalas SMS itu dan hanya menggaruk-garuk kepala.

□□□
 
Yo! What's up?

Wow, lama banget nih gak nulis artikel buat blog ini. Wajar, akhir-akhir ini saya disibukkan dengan tugas kuliah yang membukit, laporan praktikum yang menggunung, beberapa chapter komik yang belum terbaca, puluhan episode anime yang belum tertonton, dan waktu tidur yang overdosis. Huff, sibuk banget, kan? Bahkan artikel yang ini aja musti ditulis dengan mengorbankan waktu tidur saya. Ck, jadi merasa bersalah dengan tempat tidur.

Hari ini, tanggal 2 Juni 2014, pukul 18.12 WIB, saya ganjil berusia 19 tahun, saudara-saudara. Percayalah, saya anak Matematika, dan 19 itu bilangan ganjil, BUKAN genap. Gak usah protes.

Sembilan belas tahun. Waktu saya mondar-mandir di planet bumi ini ternyata udah lama banget, ya. Well, saya awalnya agak bingung mau ngebahas apa di artikel ini yang berhubungan dengan ulang tahun saya. Permohonan saya? Itu udah mainstream. Setelah dipikir-pikir, saya lebih memilih buat sharing beberapa hal penting kehidupan saya selama 19 tahun ini yang mungkin bisa dijadikan pengalaman atau pembelajaran buat para pembaca, dimulai pada saat saya lahir, jauh sebelum saat Negara Api menyerang.


2 Juni 1995.

Gak nyangka, saya bisa lahir juga di Sampit. Lumayan geli dan salute buat Ayah saya yang pada saat saya lahir rela datang jauh-jauh dari hutan ke tempat bidan di mana saya dilahirkan 19 tahun yang lalu.

Hutan? Iya, beneran hutan. Ini Kalimantan Tengah, loh. Jangan dibayangkan kayak yang sekarang. Dulu Sampit itu (yang merupakan ibukota kabupaten) aja angker, masih banyak hutannya. Ayah saya sendiri kerjanya (kata beliau juga, sih) adalah pendulang emas (pendulang, bahasa gaul, sebutan buat orang yang mencari emas di sungai, tambang atau lubang galian).

Belakangan saya baru tahu kalau itu cuma istilah oleh beliau aja biar saya agak prihatin dan memotivasi saya supaya maju. Ternyata Ayah saya adalah pemilik lubang tambangnya, dan orang lainlah yang menyewa lalu bekerja di situ (semacam kayak pemilik kosan). Siapa sangka ilmu ekonomi-akuntasi perkuliahan Ayah berguna juga di hutan ternyata. :v

Yeps, hutan. Waktu itu keluarga saya tinggal di hutan, jauh di pedalaman Kalimantan Tengah. Entah karena bosan hidup di kota kali sampai Ayah saya milih tinggal di hutan sana. Pas tau saya lahir, Ayah saya langsung menempuh perjalanan puluhan kilometer pake motor menuju ke Sampit sampai-sampai sempat kecelakaan. Lutut beliau sempat mencium aspal jalanan, sebuah kerikil berdiameter sekitar satu sentimeter sampai masuk ke dalam lutut (bekasnya masih ada sampai sekarang).

Pantang menyerah, sampai akhirnya Ayah bisa sampai juga di Sampit walaupun sempat membuat panik seisi rumah bidan yang penuh perawat karena melihat Ayah saya penuh lumpur dengan kaki yang berdarah. Bisa dibayangkan macam film zombie. -_-

Hari itu juga nama saya diputuskan. Nama depan diambil dari sebuah bahasa Dayak kuno yang nyaris punah (Ibu saya suku Dayak, dengan 25% berdarah Belanda) dan hampir bertransformasi ke bahasa Banjar, artinya: “Tulisan” atau “goresan”. Disusul dengan nama tengah yang diambil dari bahasa Batak (karena Ayah saya suku Batak asli) yang artinya: “Diingat”, atau “yang diingat”, atau secara harfiah: “pengingat”.

Well, sejauh ini nama saya bisa diartikan sebagai “Tulisan yang diingat”. Nah, masalah marga, awalnya Ayah saya ingin memberi marga dengan marga yang “sedikit lebih di atas” (rancu euy. Susah ngejelasinnya :v ) tapi akhirnya malah digabungkan dengan marga asli juga. Jadi, sekilas buat orang yang baru paham masalah marga-margaan, bakal bingung dan protes melihat marga saya ada dua. -_-

Melihat saya udah tumbuh gede (bisa gede juga ternyata) dan karena orang tua saya sangat peduli dengan pendidikan, akhirnya kami pindah dari hutan ke Parenggean, sebuah kecamatan kecil yang masih berbentuk rimba, sekitar 100 kilometer dari kota Sampit, agar saya bisa bersekolah. Akhirnya itu ijazah Ayah kepake juga buat kerja di kantor kecamatan.
Parenggean. Saya hampir masuk TK nih ceritanya. Ayah saya ini jarang dan hampir gak pernah tertarik nonton TV. Jadinya tiap hari baca koran doang. Melihat kertas besar penuh tinta-tinta hitam membuat saya tertarik, kata Ibu saya waktu itu. Alhasil, saya udah duluan bisa membaca.

Ayah saya kebetulan kerja di bagian Ketua FK, semacam divisi (wuihh) yang mengurus pinjaman/bantuan ke setiap desa (kalau gak salah). Jadinya, kerjanya lebih sering keluar desa sampai ke sekitar 30 desa buat antar-ambil duit. Tiap malam kalau gak baca koran (cuma baca, saya gak ngerti isinya apaan), saya cuma merhatiin Ayah saya otak-atik angka di kertas (kadang-kadang di kalkulator) buat ngehitung pemasukan-pengeluaran dana. Bisa dibayangkan anak labil yang bahkan belum sampai umur 5 tahun ngelihat perhitungan angka 6 – 8 digit di atas kertas? Saya langsung dengan polos nanya, Ayah lagi ngapain?

Pertanyaan itu mungkin menjadi awal “keterlibatan” saya dengan angka, khususnya Matematika yang menjadi jalan saya sekarang. Saat itu dengan kalem Ayah saya cuma ngejelasin sedikit tentang angka dan lambang (+) (-) (*) (:) . Ternyata menyenangkan.

Pas masuk TK, saya sampai lompat kelas (bukan dalam arti yang sebenarnya) karena bosan dengan pelajaran kelas 0 kecil yang masih di tema “belajar mengenal huruf”. -_- saya maklumi, saya waktu itu udah bisa membaca. Di 0 besar ada kemajuan. Udah mulai menghitung coy! Yah, walaupun yang dihitung masih 1 digit.

Masuk SD, gak muluk-muluk, yang penting dekat rumah. Orang tua saya memilih SD Negeri 2 Parenggean. Di sini banyak kenangan, saya bisa lebih mengenal dunia dan bermacam-macam sifat manusia serta cara menyikapinya.

Satu hal yang mengubah cara pandang saya selama masa-masa SD adalah saat saya mengenal game PS1, Suikoden II dan Harvest Moon: Back to Nature. Di sini saya bisa memahami sudut pandang pemikiran manusia, tujuan hidup, motivasi tepat guna (tentunya beda dengan motivasi-motivasi di TV sekarang di mana Anda paling cuma nonton, angguk-angguk setuju dengan setiap kalimat yang diucapkan sang motivator, trus pas acara berakhir,  Anda malah bengong gak berbuat apa-apa. Begitu seterusnya hingga itu rating acara naik), perjuangan menghadapi hidup yang keras (Harvest Moon), arti persahabatan dan betapa menyedihkannya dunia saat konflik terjadi (Suikoden II).

 Di SD, saya juga melihat bagaimana lingkungan mempengaruhi cara Anda berpikir. Menyenangkan rasanya bisa memilliki teman-teman dan saingan yang hebat selama SD. Rata-rata teman dekat saya sekarang adalah teman saya pas masih SD.

Di SD juga saya sempat merasakan keliling bagian barat Indonesia pas pulang ke Sumatera. :D sengaja gak pake pesawat supaya greget, kata Ayah saya. Percayalah, Danau Toba itu sangat luas.

Masuk SMP, gak muluk-muluk, yang penting dekat rumah (lagi). Pas setelah melaminating ijazah SD, dengan baju tidur dan wajah ngantuk saya datang ke SMP buat mendaftar masuk. Sang guru bertanya dengan raut wajah terkejut, “kok nggak ditemanin orang tua?”

“Eh, emang harus, ya, Pak?” tanya saya gak kalah terkejut.

“Err, nggak juga, kok.”

Akhirnya saya masuk sekolah di SMP Negeri 1 Parenggean. Masa-masa SMP ternyata menyenangkan, terutama kalau melihat tingkah laku teman-teman yang makin narsis.
Selama SMP, saya lebih senang duduk paling belakang supaya bisa tidur dan memerhatikan tingkah laku teman-teman paling depan. Bisa dibilang, selama SMP saya sudah memahami gesture manusia yang seumuran dengan saya. Bagaimana gesture seorang cowok yang berniat mau PDKT ke cewek terlihat jelas banget atau gelagat seseorang yang terlihat eneg dengan orang lain.

Di SMP juga saya bisa mengenal dunia lebih luas karena sudah adanya akses internet. Saya memang sering mengunjungi Sampit karena ada keluarga di sana, tapi untuk pertama kalinya saya bisa berkesempatan masuk ke sekolah (yang bagi saya) cukup elit di Sampit untuk mengikuti kegiatan OSN. Wow, inikah sekolah di kota? Otak kampung saya gak bisa menyembunyikan kekaguman saya, terutama ke siswa-siswi yang ada di sana.
Saya memerhatikan bagaimana cara mereka berbicara dan bertindak. Ya, mereka penuh dengan percaya diri.

Lumayan, selesai OSN, saya sempat membuat geger Dinas Pendidikan Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) gara-gara ada wakil dari Parenggean (yang dulu cuma dianggap kampung kecil tersisih) bisa juara 1 OSN Matematika. Maklum, waktu itu biasanya yang juara ya dari Sampit mulu.

Saya ingat, saat Ayah saya dihubungi pihak sekolah, Ayah saya cuma bersikap kalem banget, malah Ibu saya yang terharu.

Nah, kapan lagi bisa jalan-jalan ke Palangka Raya (Paray) gratis? Setiap peserta yang menang dikumpulkan lagi di Sampit untuk diberangkatkan ke Paray. Wow, bayangkan anak labil yang berada di antara beberapa siswa kutu buku dengan kepandaian tingkat dramatis, di mana mereka masing-masing memegang buku matematika tebal dengan judul yang gak pernah saya baca atau saya lihat sebelumnya, kontras dengan saya yang cuma memegang komik dan buku tulis tipis.

Lumayan, saya langsung akrab dengan mereka, terutama dari wakil Fisika yang kalau gak salah nama panggilannya itu Upik (sekarang rasanya udah di Kedokteran). Setelah itu saya mencari anak-anak matematika dan berkumpul. Agak canggung pas ngobrol, karena yang juara 2 dan 3 ternyata adalah cewek (salah satunya kini satu jurusan dengan saya di kampus). -_- untung juara 4 ternyata boleh ikut, dan itu cowok.

Setelah itu kami dilemparkan ke Paray. Bermalam satu hari, trus baru ngejawab soal di Asrama Haji, trus pulang ke kota masing-masing setelah sebelumnya bertukar nomor telepon.
Dua bulan berselang ternyata si Upik lolos, juara 1 fisika! Wow, keren. Upik sempat menelepon saya dan bilang kalau nilai saya cuma selisih sedikiiiiiiiit aja dengan yang juara, kalau saya bisa lebih tinggi, mungkin kami udah sama-sama terbang ke..... ke mana? Saya lupa. :v entah Semarang atau Jakarta.

Lumayan banyak kenangan di SMP. Lanjut ke SMA.
Melihat akreditasi SMA di Parenggean yang mengkhawatirkan, Ayah saya memutuskan melemparkan saya ke Sampit untuk ikut keluarga di sana agar bisa sekolah.
Gak perlu ambil pusing, saya langsung bilang mau masuk SMA 2 Sampit. Padahal saya belum ngecek atau melakukan survei ke tiap sekolah. Toh, saya berprinsip: Semua tempat sama aja, tinggal tergantung bagaimana diri sendiri aja kok. Makanya saya asal sebut aja pilih SMA 2 Sampit. :v

Pas udah pendaftaran SMA, seluruh NEM ditempel di tembok sekolah. Ayah saya sedikit melongo melihat NEM saya ada di urutan ke sekitar 300 atau 400 rasanya. Padahal yang diterima hanya 200 orang. Saya cuma bilang, itu cuma nilai, cuma angka, yang penting pengetahuan, dan Ayah saya cuma mengangguk.

Setelah selesai tes, beberapa hari kemudian pengumuman pun tiba. Seluruh hasilnya ditempel di tembok lagi. Siswa yang lulus diurutkan berdasarkan nilai akumulasi NEM dan nilai tes mulai yang tertinggi sampai yang terendah di nomor 200. di luar itu, dinyatakan tidak lulus.
Ratusan orang berkerumun, saya juga ikut. Saya mengecek mulai dari nomor 200 lalu naik ke atas. Gila, udah sampai nomor 100 nama saya belum muncul-muncul. -_- masa gak lulus nih? Masa masuk swasta? Mahal kan?

Pas lagi berdesak-desakan, terdengar suara yang gak asing memanggil nama saya. Saya menoleh. Di bagian ujung tembok kelihatan ada cewek melambai-lambai memanggil saya. Itu kan.... siapa? Ah, ya, ternyata itu cewek yang juara juga pas OSN matematika pas SMP itu. Masih ingat dengan saya ternyata.

Saya menghampiri dia. Dia langsung nunjuk ke kertas pengumuman yang ditempel.

“Nama kamu ada di situ,” katanya sambil tersenyum.

Saya langsung mengecek. Tepat di nomor urut dua, di bawah nama cewek itu, ada nama saya tertulis. Huff, NEM boleh rendah, tapi nilai tes ternyata nyaris sempurna. Yah, saya kalah hanya di NEM.

Masa-masa SMA lebih menyenangkan lagi. Saya banyak bertemu teman-teman yang menarik, ikut berbagai lomba, menyumbangkan piala-piala bagi sekolah, bertemu teman-teman dari sekolah lain, dan bergabung bersama suatu komunitas seni menggambar hingga akhirnya ikut mendukung pembentukan grup baru, SARGE.

Di SMA inilah saya melihat arti nama saya yang sesungguhnya. Tulisan, entah sudah berapa banyak cerpen yang saya buat dan chapter webnovel yang saya unggah di internet. Garis, sebuah garis pensil di atas kertas, sampai akhirnya saya membuat komik.

Di SMA ini jugalah saya mengenal artinya persahabatan, cinta (cieeee cieeee CIEEEE!!!!), pengkhianatan, rasa egois, kebahagian, kelicikan, ketulusan, perjuangan, dan keberuntungan. Bahkan 1001 macam cara mencontek tanpa diketahui pengawas sudah kami kuasai di SMA meskipun saya hanya menggunakannya hanya jika pelajaran PPKN dan Sejarah. Yah, saya benci menghafal. :v

Di sini saya sadar, banyak yang lebih penting di dunia ini daripada hanya sekadar prestasi atau pencapaian. Saya perlahan-lahan mulai mengubah jalan hidup saya dan merenungkan akan jadi apa saya nantinya. Saya sadar, semakin tinggi suatu hal yang saya kejar, bibit keegoisan itu mulai muncul dalam diri saya. Cukup, saya berhenti mengejar ambisi saya yang berlebihan. Saya hanya ingin menikmati hidup dengan cara yang sederhana, sesederhana hidup yang diajarkan Ayah saya: tanpa harus berkelebihan, tapi selalu berkecukupan, tanpa pernah berkekurangan.

Hingga kini akhirnya saya duduk dan sudah (hampir) menjalani dua semester perkuliahan, dan berulang tahun hari ini.

Jadi, apa hubungannya ulang tahun dengan cerita singkat (bahkan sangaaaat singkat) dari sedikit kehidupan saya itu?

Yah, ulang tahun bagi saya adalah saat yang tepat untuk merenung, menarik undur apa yang sudah saya lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Ulang tahun kali ini adalah ulang tahun di mana saya tidak bisa berkumpul dengan orang tua karena kegiatan perkuliahan masih berlangsung. Biasanya, saat SMA, bertepatan dengan libur, sehingga kami bisa berdoa bersama-sama untuk merayakan bertambahnya usia ini.

Ayah saya tidak pernah membuat pesta acara ulang tahun atau membuat kue megah nan mahal di hari ulang tahun karena memang tidak terbiasa dengan hal seperti itu, dan saya juga tidak terlalu peduli (mungkin ini yang membuat saya kadang-kadang lupa kapan saya ulang tahun karena memang tidak ada yang terlalu mewah selain sebuah nikmatnya pisang goreng buatan Ibu di hari ulang tahun). Biasanya akan ada kebaktian ucapan syukur di rumah kami, dan itu jauuuuuh lebih hebat daripada hiruk pikuk pesta.

Sudahkah saya menjadi pribadi yang baik melebihi saat saya masih berulang tahun yang ke-18? Sudahkah saya membahagiakan orang tua saya? Apa lagi tujuan saya selanjutnya? Apa target saya selanjutnya? Apakah saat ini saya merasa bahagia? Berapa jumlah prestasi dan teman yang saya kumpul? Agak gawat sepertinya jika sampai saya lebih banyak mengumpulkan prestasi daripada teman. Kapan saya menikah? Saya di mana? Dengan siapa? Semalam berbuat apa? Ah, tampaknya blog ini akan sangat sesak untuk menampung jawaban dari semua pertanyaan itu.
Yah, lega rasanya berulang tahun ke-19. Bertambah tua, nyaris mendekati 20. ^_^ harapan saya.... cukup saya tuangkan dalam doa.

Moral penting dari artikel ini sebenarnya bisa dipetik dari cerita-cerita absurd masa sekolah saya itu. Misalnya, lingkungan sangat berpengaruh terhadap sifat, sikap dan pemikiran Anda.
Bukan masalah di mana tempat Anda menempuh pendidikan, tapi adalah tentang DIRI ANDA SENDIRI.

Hati-hati dengan keegoisan, bahkan Anda sendiri tidak akan sadar saat egois itu muncul sampai akhirnya Anda tahu bahwa kehidupan Anda sudah berantakan.

Sejauh Anda melangkah, Anda tau yang lebih penting untuk menjalani hidup: Teman dan Sahabat.

Orang tua Anda adalah hal tepenting. Hati-hati bertingkah atau berbicara di hadapan mereka.

Cinta itu indah. Serius.

Selingkuh juga indah..... kalau gak ketahuan.

Pada dasarnya semua orang mencari kebahagiaan, hanya saja mereka tidak tahu sumber utama kebahagiaan itu. Jadi, apa sumbermu? (Ingat, kebahagiaan itu beda dengan rasa puas dan bangga yang bersifat sementara)

Ulang tahun itu indah kalau gak ada yang ngelempar Anda dengan tepung, telur, atau kue!!!

Terakhir, mengapa saya memilih judul “Selama Engkau Hidup” untuk artikel ini? Ini adalah judul lagu dari band Pee Wee Gaskins. Memang, liriknya agak terdengar kasar di beberapa bagian, tapi maknanya begitu dalam kalau Anda bisa meresapinya! Saya suka banget itu lagu. ^_^
Oke, sampai jumpa di artikel selanjutnya!



Pee Wee Gaskins ~ Selama Engkau Hidup

suara pesta kan bergema (hilang semua duka)
riang canda membuat lupa (ajalmu kan tiba)
bertambah satu usiamu kawan semakin dekat akhir hidupmu
selamat ulang tahun, jangan jadi tua dan menyebalkan
selamat ulang tahun, kawan dan kejarlah yang terbaik selama engkau hidup
berkumpullah dengan teman-temanmu (jabat erat tangan yang biasa menikam)
tiup lilin akan membuat ingat (yang bersinar kelak akan pudar)
selamat ulang tahun jangan jadi tua dan menyebalkan
selamat ulang tahun kawan dan kejarlah yang terbaik selama engkau hidup
selamat ulang tahun jangan jadi tua dan membosankan
selamat ulang tahun kawan dan jadilah yang terbaik selama engkau hidup
jabat erat tangan yang biasa menikam, jabat erat tangan yang biasa menikam
dan angkat gelasmu kita bersulang, dan angkat gelasmu kita bersulang
dan angkat gelasmu kita bersulang, dan angkat gelasmu kita bersulang
selamat ulang tahun jangan jadi tua dan menyebalkan
selamat ulang tahun kawan dan kejarlah yang terbaik selama engkau hidup
selamat ulang tahun jangan jadi tua dan membosankan
selamat ulang tahun kawan dan jadilah yang terbaik selama engkau hidup
(dan kejarlah yang terbaik, dan jadilah yang terbaik, selama engkau hidup)



Palangka Raya, 02 Juni 2014



Hikaru Xifos




0 komentar:

Posting Komentar

...........................

Popular Posts

Recent Posts

Click to view my Personality Profile page

Unordered List

"Nilai gak penting, pengetahuan dan wawasan itu yang penting."

Categories

Text Widget

Me.....

Foto saya
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia
Seorang mahasiswa Pendidikan Matematika yang berusaha untuk menyelamatkan umat manusia dari serangan alien hingga akhirnya sebuah meteor jatuh ke ladang gandum dan jadilah sebuah sereal seperti iklan di televisi.

Followers.....