Selama
Engkau Hidup
Kupandangi
jam digital yang ada di pojok kanan bawah monitor laptop milikku
sambil menguap lebar.
“Fuuu,
udah hampir jam sebelas,” gumamku sambil merenggangkan leher. Dua
jam membaca komik digital dengan tatapan terpaku kepada layar itu
cukup melelahkan, kawan. Waktunya tidur.
Hei,
sepertinya aku melupakan sesuatu. Ah, ya, materi tentang senyawa
karbon untuk mata kuliah Kimia Dasar II besok. Aku belum
mempelajarinya sama sekali. Fuuu, sudahlah, tidur lebih penting.
Aku
bersiap melompat ke atas tempat tidur sebelum akhirnya sebuah SMS
masuk ke handphone
milikku. Malam-malam begini siapa, ya? Jangan-jangan GoN, seperti
biasanya.
Kubuka
SMS yang baru masuk itu lalu kubaca dengan cukup cepat. Bukan, bukan
dari GoN, tapi dari si Ranger Pink. Isi SMS darinya seolah-olah tak
menyangka bahwa aku ulang tahun hari ini, entah sengaja atau memang
benar-benar tidak menyangka.
“Ulang
tahun?” gumamku sambil mengangkat sebelah alis. Aku bergegas
melihat ke kalender yang berada tepat di depan meja belajar... tidak,
lebih tepatnya meja yang lebih sering kugunakan untuk menggambar atau
membaca komik. “Sudah dua Juni? Tidak, masih satu jam lagi,”
ucapku tertegun.
Eh?
Aku ulang tahun? Aku sempat mematung beberapa saat karena sebenarnya
aku sendiri hampir lupa kapan aku ulang tahun karena akhir-akhir ini
sudah jarang melihat kalender. Hampir setengah jam aku tidak membalas
SMS itu dan hanya menggaruk-garuk kepala.
□□□
Yo!
What's up?
Wow, lama banget nih gak
nulis artikel buat blog ini. Wajar, akhir-akhir ini saya disibukkan
dengan tugas kuliah yang membukit, laporan praktikum yang menggunung,
beberapa chapter komik yang belum
terbaca, puluhan episode anime yang belum tertonton, dan waktu tidur
yang overdosis. Huff, sibuk banget, kan?
Bahkan artikel yang ini aja musti ditulis dengan mengorbankan waktu
tidur saya. Ck, jadi merasa bersalah dengan tempat tidur.
Hari ini, tanggal 2 Juni
2014, pukul 18.12 WIB, saya ganjil berusia 19 tahun, saudara-saudara.
Percayalah, saya anak Matematika, dan 19 itu bilangan ganjil, BUKAN
genap. Gak usah protes.
Sembilan belas tahun.
Waktu saya mondar-mandir di planet bumi ini ternyata udah lama
banget, ya. Well, saya
awalnya agak bingung mau ngebahas apa di artikel ini yang berhubungan
dengan ulang tahun saya. Permohonan saya? Itu udah mainstream.
Setelah dipikir-pikir, saya lebih memilih buat sharing beberapa hal
penting kehidupan saya selama 19 tahun ini yang mungkin bisa
dijadikan pengalaman atau pembelajaran buat para pembaca, dimulai
pada saat saya lahir, jauh sebelum saat Negara Api menyerang.
2 Juni 1995.
Gak nyangka, saya bisa
lahir juga di Sampit. Lumayan geli dan salute
buat Ayah saya yang pada saat saya lahir rela datang jauh-jauh dari
hutan ke tempat bidan di mana saya dilahirkan 19 tahun yang lalu.
Hutan? Iya, beneran
hutan. Ini Kalimantan Tengah, loh. Jangan dibayangkan kayak yang
sekarang. Dulu Sampit itu (yang merupakan ibukota kabupaten) aja
angker, masih banyak hutannya. Ayah saya sendiri kerjanya (kata
beliau juga, sih) adalah pendulang emas (pendulang, bahasa gaul,
sebutan buat orang yang mencari emas di sungai, tambang atau lubang
galian).
Belakangan saya baru tahu
kalau itu cuma istilah oleh beliau aja biar saya agak prihatin dan
memotivasi saya supaya maju. Ternyata Ayah saya adalah pemilik lubang
tambangnya, dan orang lainlah yang menyewa lalu bekerja di situ
(semacam kayak pemilik kosan). Siapa sangka ilmu ekonomi-akuntasi
perkuliahan Ayah berguna juga di hutan ternyata. :v
Yeps, hutan. Waktu itu
keluarga saya tinggal di hutan, jauh di pedalaman Kalimantan Tengah.
Entah karena bosan hidup di kota kali sampai Ayah saya milih tinggal
di hutan sana. Pas tau saya lahir, Ayah saya langsung menempuh
perjalanan puluhan kilometer pake motor menuju ke Sampit
sampai-sampai sempat kecelakaan. Lutut beliau sempat mencium aspal
jalanan, sebuah kerikil berdiameter sekitar satu sentimeter sampai
masuk ke dalam lutut (bekasnya masih ada sampai sekarang).
Pantang menyerah, sampai
akhirnya Ayah bisa sampai juga di Sampit walaupun sempat membuat
panik seisi rumah bidan yang penuh perawat karena melihat Ayah saya
penuh lumpur dengan kaki yang berdarah. Bisa dibayangkan macam film
zombie. -_-
Hari itu juga nama saya
diputuskan. Nama depan diambil dari sebuah bahasa Dayak kuno yang
nyaris punah (Ibu saya suku Dayak, dengan 25% berdarah Belanda) dan
hampir bertransformasi ke bahasa Banjar, artinya: “Tulisan” atau
“goresan”. Disusul dengan nama tengah yang diambil dari bahasa
Batak (karena Ayah saya suku Batak asli) yang artinya: “Diingat”,
atau “yang diingat”, atau secara harfiah: “pengingat”.
Well, sejauh ini nama
saya bisa diartikan sebagai “Tulisan yang diingat”. Nah, masalah
marga, awalnya Ayah saya ingin memberi marga dengan marga yang
“sedikit lebih di atas” (rancu euy. Susah ngejelasinnya :v ) tapi
akhirnya malah digabungkan dengan marga asli juga. Jadi, sekilas buat
orang yang baru paham masalah marga-margaan, bakal bingung dan protes
melihat marga saya ada dua. -_-
Melihat saya udah tumbuh
gede (bisa gede juga ternyata) dan karena orang tua saya sangat
peduli dengan pendidikan, akhirnya kami pindah dari hutan ke
Parenggean, sebuah kecamatan kecil yang masih berbentuk rimba,
sekitar 100 kilometer dari kota Sampit, agar saya bisa bersekolah.
Akhirnya itu ijazah Ayah kepake juga buat kerja di kantor kecamatan.
Parenggean. Saya hampir
masuk TK nih ceritanya. Ayah saya ini jarang dan hampir gak pernah
tertarik nonton TV. Jadinya tiap hari baca koran doang. Melihat
kertas besar penuh tinta-tinta hitam membuat saya tertarik, kata Ibu
saya waktu itu. Alhasil, saya udah duluan bisa membaca.
Ayah saya kebetulan kerja
di bagian Ketua FK, semacam divisi (wuihh) yang mengurus
pinjaman/bantuan ke setiap desa (kalau gak salah). Jadinya, kerjanya
lebih sering keluar desa sampai ke sekitar 30 desa buat antar-ambil
duit. Tiap malam kalau gak baca koran (cuma baca, saya gak ngerti
isinya apaan), saya cuma merhatiin Ayah saya otak-atik angka di
kertas (kadang-kadang di kalkulator) buat ngehitung
pemasukan-pengeluaran dana. Bisa dibayangkan anak labil yang bahkan
belum sampai umur 5 tahun ngelihat perhitungan angka 6 – 8 digit di
atas kertas? Saya langsung dengan polos nanya, Ayah lagi ngapain?
Pertanyaan itu mungkin
menjadi awal “keterlibatan” saya dengan angka, khususnya
Matematika yang menjadi jalan saya sekarang. Saat itu dengan kalem
Ayah saya cuma ngejelasin sedikit tentang angka dan lambang (+) (-)
(*) (:) . Ternyata menyenangkan.
Pas masuk TK, saya sampai
lompat kelas (bukan dalam arti yang sebenarnya) karena bosan dengan
pelajaran kelas 0 kecil yang masih di tema “belajar mengenal
huruf”. -_- saya maklumi, saya waktu itu udah bisa membaca. Di 0
besar ada kemajuan. Udah mulai menghitung coy! Yah, walaupun yang
dihitung masih 1 digit.
Masuk SD, gak
muluk-muluk, yang penting dekat rumah. Orang tua saya memilih SD
Negeri 2 Parenggean. Di sini banyak kenangan, saya bisa lebih
mengenal dunia dan bermacam-macam sifat manusia serta cara
menyikapinya.
Satu hal yang mengubah
cara pandang saya selama masa-masa SD adalah saat saya mengenal game
PS1, Suikoden II dan
Harvest Moon: Back to Nature.
Di sini saya bisa memahami sudut pandang pemikiran manusia, tujuan
hidup, motivasi tepat guna (tentunya beda dengan motivasi-motivasi di
TV sekarang di mana Anda paling cuma nonton, angguk-angguk setuju
dengan setiap kalimat yang diucapkan sang motivator, trus pas acara
berakhir, Anda malah bengong gak berbuat apa-apa. Begitu seterusnya
hingga itu rating acara naik), perjuangan menghadapi hidup yang keras
(Harvest Moon), arti persahabatan dan betapa menyedihkannya dunia
saat konflik terjadi (Suikoden II).
Di SD, saya juga melihat
bagaimana lingkungan mempengaruhi cara Anda berpikir. Menyenangkan
rasanya bisa memilliki teman-teman dan saingan yang hebat selama SD.
Rata-rata teman dekat saya sekarang adalah teman saya pas masih SD.
Di SD juga saya sempat
merasakan keliling bagian barat Indonesia pas pulang ke Sumatera. :D
sengaja gak pake pesawat supaya greget, kata Ayah saya. Percayalah,
Danau Toba itu sangat luas.
Masuk SMP, gak
muluk-muluk, yang penting dekat rumah (lagi). Pas setelah
melaminating ijazah SD, dengan baju tidur dan wajah ngantuk saya
datang ke SMP buat mendaftar masuk. Sang guru bertanya dengan raut
wajah terkejut, “kok nggak ditemanin orang tua?”
“Eh, emang harus, ya,
Pak?” tanya saya gak kalah terkejut.
“Err, nggak juga, kok.”
Akhirnya saya masuk
sekolah di SMP Negeri 1 Parenggean. Masa-masa SMP ternyata
menyenangkan, terutama kalau melihat tingkah laku teman-teman yang
makin narsis.
Selama SMP, saya lebih
senang duduk paling belakang supaya bisa tidur dan memerhatikan
tingkah laku teman-teman paling depan. Bisa dibilang, selama SMP saya
sudah memahami gesture manusia yang seumuran dengan saya. Bagaimana
gesture seorang cowok yang berniat mau PDKT ke cewek terlihat jelas
banget atau gelagat seseorang yang terlihat eneg dengan orang lain.
Di SMP juga saya bisa
mengenal dunia lebih luas karena sudah adanya akses internet. Saya
memang sering mengunjungi Sampit karena ada keluarga di sana, tapi
untuk pertama kalinya saya bisa berkesempatan masuk ke sekolah (yang
bagi saya) cukup elit di Sampit untuk mengikuti kegiatan OSN. Wow,
inikah sekolah di kota? Otak kampung saya gak bisa menyembunyikan
kekaguman saya, terutama ke siswa-siswi yang ada di sana.
Saya memerhatikan
bagaimana cara mereka berbicara dan bertindak. Ya, mereka penuh
dengan percaya diri.
Lumayan, selesai OSN,
saya sempat membuat geger Dinas Pendidikan Kabupaten Kotawaringin
Timur (Kotim) gara-gara ada wakil dari Parenggean (yang dulu cuma
dianggap kampung kecil tersisih) bisa juara 1 OSN Matematika. Maklum,
waktu itu biasanya yang juara ya dari Sampit mulu.
Saya ingat, saat Ayah
saya dihubungi pihak sekolah, Ayah saya cuma bersikap kalem banget,
malah Ibu saya yang terharu.
Nah, kapan lagi bisa
jalan-jalan ke Palangka Raya (Paray) gratis? Setiap peserta yang
menang dikumpulkan lagi di Sampit untuk diberangkatkan ke Paray. Wow,
bayangkan anak labil yang berada di antara beberapa siswa kutu buku
dengan kepandaian tingkat dramatis, di mana mereka masing-masing
memegang buku matematika tebal dengan judul yang gak pernah saya baca
atau saya lihat sebelumnya, kontras dengan saya yang cuma memegang
komik dan buku tulis tipis.
Lumayan, saya langsung
akrab dengan mereka, terutama dari wakil Fisika yang kalau gak salah
nama panggilannya itu Upik (sekarang rasanya udah di Kedokteran).
Setelah itu saya mencari anak-anak matematika dan berkumpul. Agak
canggung pas ngobrol, karena yang juara 2 dan 3 ternyata adalah cewek
(salah satunya kini satu jurusan dengan saya di kampus). -_- untung
juara 4 ternyata boleh ikut, dan itu cowok.
Setelah itu kami
dilemparkan ke Paray. Bermalam satu hari, trus baru ngejawab soal di
Asrama Haji, trus pulang ke kota masing-masing setelah sebelumnya
bertukar nomor telepon.
Dua bulan berselang
ternyata si Upik lolos, juara 1 fisika! Wow, keren. Upik sempat
menelepon saya dan bilang kalau nilai saya cuma selisih
sedikiiiiiiiit aja dengan yang juara, kalau saya bisa lebih tinggi,
mungkin kami udah sama-sama terbang ke..... ke mana? Saya lupa. :v
entah Semarang atau Jakarta.
Lumayan banyak kenangan
di SMP. Lanjut ke SMA.
Melihat akreditasi SMA di
Parenggean yang mengkhawatirkan, Ayah saya memutuskan melemparkan
saya ke Sampit untuk ikut keluarga di sana agar bisa sekolah.
Gak perlu ambil pusing,
saya langsung bilang mau masuk SMA 2 Sampit. Padahal saya belum
ngecek atau melakukan survei ke tiap sekolah. Toh, saya berprinsip:
Semua tempat sama aja, tinggal tergantung bagaimana diri sendiri aja
kok. Makanya saya asal sebut aja pilih SMA 2 Sampit. :v
Pas udah pendaftaran SMA,
seluruh NEM ditempel di tembok sekolah. Ayah saya sedikit melongo
melihat NEM saya ada di urutan ke sekitar 300 atau 400 rasanya.
Padahal yang diterima hanya 200 orang. Saya cuma bilang, itu cuma
nilai, cuma angka, yang penting pengetahuan, dan Ayah saya cuma
mengangguk.
Setelah selesai tes,
beberapa hari kemudian pengumuman pun tiba. Seluruh hasilnya ditempel
di tembok lagi. Siswa yang lulus diurutkan berdasarkan nilai
akumulasi NEM dan nilai tes mulai yang tertinggi sampai yang terendah
di nomor 200. di luar itu, dinyatakan tidak lulus.
Ratusan orang berkerumun,
saya juga ikut. Saya mengecek mulai dari nomor 200 lalu naik ke atas.
Gila, udah sampai nomor 100 nama saya belum muncul-muncul. -_- masa
gak lulus nih? Masa masuk swasta? Mahal kan?
Pas lagi
berdesak-desakan, terdengar suara yang gak asing memanggil nama saya.
Saya menoleh. Di bagian ujung tembok kelihatan ada cewek
melambai-lambai memanggil saya. Itu kan.... siapa? Ah, ya, ternyata
itu cewek yang juara juga pas OSN matematika pas SMP itu. Masih ingat
dengan saya ternyata.
Saya menghampiri dia. Dia
langsung nunjuk ke kertas pengumuman yang ditempel.
“Nama kamu ada di
situ,” katanya sambil tersenyum.
Saya langsung mengecek.
Tepat di nomor urut dua, di bawah nama cewek itu, ada nama saya
tertulis. Huff, NEM boleh rendah, tapi nilai tes ternyata nyaris
sempurna. Yah, saya kalah hanya di NEM.
Masa-masa SMA lebih
menyenangkan lagi. Saya banyak bertemu teman-teman yang menarik, ikut
berbagai lomba, menyumbangkan piala-piala bagi sekolah, bertemu
teman-teman dari sekolah lain, dan bergabung bersama suatu komunitas
seni menggambar hingga akhirnya ikut mendukung pembentukan grup baru,
SARGE.
Di SMA inilah saya
melihat arti nama saya yang sesungguhnya. Tulisan, entah sudah berapa
banyak cerpen yang saya buat dan chapter webnovel yang saya unggah
di internet. Garis, sebuah garis pensil di atas kertas, sampai
akhirnya saya membuat komik.
Di SMA ini jugalah saya
mengenal artinya persahabatan, cinta (cieeee cieeee CIEEEE!!!!),
pengkhianatan, rasa egois, kebahagian, kelicikan, ketulusan,
perjuangan, dan keberuntungan. Bahkan 1001 macam cara mencontek tanpa
diketahui pengawas sudah kami kuasai di SMA meskipun saya hanya
menggunakannya hanya jika pelajaran PPKN dan Sejarah. Yah, saya benci
menghafal. :v
Di sini saya sadar,
banyak yang lebih penting di dunia ini daripada hanya sekadar
prestasi atau pencapaian. Saya perlahan-lahan mulai mengubah jalan
hidup saya dan merenungkan akan jadi apa saya nantinya. Saya sadar,
semakin tinggi suatu hal yang saya kejar, bibit keegoisan itu mulai
muncul dalam diri saya. Cukup, saya berhenti mengejar ambisi saya
yang berlebihan. Saya hanya ingin menikmati hidup dengan cara yang
sederhana, sesederhana hidup yang diajarkan Ayah saya: tanpa harus
berkelebihan, tapi selalu berkecukupan, tanpa pernah berkekurangan.
Hingga kini akhirnya saya
duduk dan sudah (hampir) menjalani dua semester perkuliahan, dan
berulang tahun hari ini.
Jadi, apa hubungannya
ulang tahun dengan cerita singkat (bahkan sangaaaat singkat) dari
sedikit kehidupan saya itu?
Yah, ulang tahun bagi
saya adalah saat yang tepat untuk merenung, menarik undur apa yang
sudah saya lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Ulang tahun kali ini
adalah ulang tahun di mana saya tidak bisa berkumpul dengan orang tua
karena kegiatan perkuliahan masih berlangsung. Biasanya, saat SMA,
bertepatan dengan libur, sehingga kami bisa berdoa bersama-sama untuk
merayakan bertambahnya usia ini.
Ayah saya tidak pernah
membuat pesta acara ulang tahun atau membuat kue megah nan mahal di
hari ulang tahun karena memang tidak terbiasa dengan hal seperti itu,
dan saya juga tidak terlalu peduli (mungkin ini yang membuat saya
kadang-kadang lupa kapan saya ulang tahun karena memang tidak ada
yang terlalu mewah selain sebuah nikmatnya pisang goreng buatan Ibu
di hari ulang tahun). Biasanya akan ada kebaktian ucapan syukur di
rumah kami, dan itu jauuuuuh lebih hebat daripada hiruk pikuk pesta.
Sudahkah saya menjadi
pribadi yang baik melebihi saat saya masih berulang tahun yang ke-18?
Sudahkah saya membahagiakan orang tua saya? Apa lagi tujuan saya
selanjutnya? Apa target saya selanjutnya? Apakah saat ini saya
merasa bahagia? Berapa jumlah prestasi dan teman yang saya kumpul?
Agak gawat sepertinya jika sampai saya lebih banyak mengumpulkan
prestasi daripada teman. Kapan saya
menikah? Saya di mana? Dengan siapa? Semalam berbuat apa?
Ah, tampaknya blog ini akan sangat sesak untuk menampung jawaban dari
semua pertanyaan itu.
Yah, lega rasanya
berulang tahun ke-19. Bertambah tua, nyaris mendekati 20. ^_^
harapan saya.... cukup saya tuangkan dalam doa.
Moral penting dari
artikel ini sebenarnya bisa dipetik dari cerita-cerita absurd masa
sekolah saya itu. Misalnya, lingkungan sangat berpengaruh terhadap
sifat, sikap dan pemikiran Anda.
Bukan masalah di mana
tempat Anda menempuh pendidikan, tapi adalah tentang DIRI ANDA
SENDIRI.
Hati-hati dengan
keegoisan, bahkan Anda sendiri tidak akan sadar saat egois itu muncul
sampai akhirnya Anda tahu bahwa kehidupan Anda sudah berantakan.
Sejauh Anda melangkah,
Anda tau yang lebih penting untuk menjalani hidup: Teman dan Sahabat.
Orang tua Anda adalah hal
tepenting. Hati-hati bertingkah atau berbicara di hadapan mereka.
Cinta itu indah. Serius.
Selingkuh juga indah.....
kalau gak ketahuan.
Pada dasarnya semua orang
mencari kebahagiaan, hanya saja mereka tidak tahu sumber utama
kebahagiaan itu. Jadi, apa sumbermu? (Ingat, kebahagiaan itu beda
dengan rasa puas dan bangga yang bersifat sementara)
Ulang tahun itu indah
kalau gak ada yang ngelempar Anda dengan tepung, telur, atau kue!!!
Terakhir, mengapa saya
memilih judul “Selama Engkau Hidup” untuk artikel ini? Ini adalah
judul lagu dari band Pee Wee Gaskins. Memang, liriknya agak terdengar
kasar di beberapa bagian, tapi maknanya begitu dalam kalau Anda bisa
meresapinya! Saya suka banget itu lagu. ^_^
Oke, sampai jumpa di
artikel selanjutnya!
Pee Wee Gaskins ~ Selama
Engkau Hidup
suara pesta kan bergema
(hilang semua duka)
riang canda membuat lupa (ajalmu kan tiba)
bertambah satu usiamu kawan semakin dekat akhir hidupmu
riang canda membuat lupa (ajalmu kan tiba)
bertambah satu usiamu kawan semakin dekat akhir hidupmu
selamat ulang tahun,
jangan jadi tua dan menyebalkan
selamat ulang tahun, kawan dan kejarlah yang terbaik selama engkau hidup
selamat ulang tahun, kawan dan kejarlah yang terbaik selama engkau hidup
berkumpullah dengan
teman-temanmu (jabat erat tangan yang biasa menikam)
tiup lilin akan membuat ingat (yang bersinar kelak akan pudar)
tiup lilin akan membuat ingat (yang bersinar kelak akan pudar)
selamat ulang tahun jangan
jadi tua dan menyebalkan
selamat ulang tahun kawan dan kejarlah yang terbaik selama engkau hidup
selamat ulang tahun jangan jadi tua dan membosankan
selamat ulang tahun kawan dan jadilah yang terbaik selama engkau hidup
selamat ulang tahun kawan dan kejarlah yang terbaik selama engkau hidup
selamat ulang tahun jangan jadi tua dan membosankan
selamat ulang tahun kawan dan jadilah yang terbaik selama engkau hidup
jabat erat tangan yang
biasa menikam, jabat erat tangan yang biasa menikam
dan angkat gelasmu kita bersulang, dan angkat gelasmu kita bersulang
dan angkat gelasmu kita bersulang, dan angkat gelasmu kita bersulang
dan angkat gelasmu kita bersulang, dan angkat gelasmu kita bersulang
dan angkat gelasmu kita bersulang, dan angkat gelasmu kita bersulang
selamat ulang tahun jangan
jadi tua dan menyebalkan
selamat ulang tahun kawan dan kejarlah yang terbaik selama engkau hidup
selamat ulang tahun jangan jadi tua dan membosankan
selamat ulang tahun kawan dan jadilah yang terbaik selama engkau hidup
selamat ulang tahun kawan dan kejarlah yang terbaik selama engkau hidup
selamat ulang tahun jangan jadi tua dan membosankan
selamat ulang tahun kawan dan jadilah yang terbaik selama engkau hidup
(dan kejarlah yang
terbaik, dan jadilah yang terbaik, selama engkau hidup)
Palangka Raya, 02 Juni
2014
Hikaru Xifos
0 komentar:
Posting Komentar
...........................