Serpihan
Asa, Menanti di Tugu Sukarno
Aku berdiri
mematung sesaat sambil memandang ke sekelilingku. Hening sejenak, merasakan
semilir angin yang berhembus dan kadang membuat rambutku bergoyang pelan,
seolah ingin mengajakku bermain bersamanya. Aku menarik napas panjang lalu
mulai berjalan menapaki tangga-tangga kecil di tempat ini, menuju ke bagian
tengah, ke arah sebuah tugu yang berdiri tegak tinggi.
“Kau di mana?” gumamku
pelan sambil membuang napas. Aku memasukkan kembali handphone milikku ke dalam kantong lalu mulai berjalan mengelilingi
tugu itu untuk sekadar mengamatinya.
Tugu Sukarno.
Kini aku berada di tempat ini dan bisa melihat sebuah tugu yang berdiri tegak
tinggi di tengah-tengah. Tugu Sukarno ini didesain sedemikian rupa sehingga
tampak menarik. Bagian belakang tugu didirikan beberapa buah pilar yang berbeda
tingginya, lalu dikelilingi oleh semacam panggung berbentuk lingkaran dengan
tangga di tiap sisi terluarnya. Di luar panggung berbentuk lingkaran itu
terdapat tempat duduk yang telah diberi atap sehingga pengunjung bisa duduk
untuk berteduh tanpa langsung terkena sengatan sinar matahari saat siang hari.
Kuakui, letak
lingkungan tugu ini begitu strategis, yakni berada tepat di pinggir jalan Ahmad
Yani, membuat tempat ini sangat ramai dikunjungi oleh orang-orang yang lewat,
baik untuk sekadar singgah ataupun bersantai di sekitar tugu.
Sebelum masuk ke
dalam lingkungan tugu ini, terlebih dahulu aku disambut oleh lahan parkiran
yang berada langsung di pinggir jalan, tepat di tepian trotoar yang lebih
tinggi daripada jalan. Parkiran ini sendiri dijaga oleh beberapa petugas
parkir, di mana pengunjung dikenakan tarif sebesar Rp. 2000 untuk satu motor
yang parkir di sini. Aku kurang begitu tahu apakah usaha parkiran ini dipegang
oleh pemerintah daerah atau pihak swasta.
Di trotoar dekat parkiran ini juga terdapat beberapa penjual
gorengan yang menjajakan gorengan, lengkap dengan minumannya. Para pengunjung
yang datang ke tugu ini sering menghabiskan waktu di warung gorengan ini untuk
mengisi perut ataupun duduk bersantai.
Di bagian timur
dari tugu terdapat sebuah taman kecil berisi bunga dan tumbuhan hijau. Di situ
juga terdapat sebuah pohon yang dikelilingi oleh bangku. Beberapa kali aku
datang ke tempat ini, aku masih belum berhasil untuk duduk di bangku itu karena
selalu didahului oleh pasangan muda-mudi yang asyik memadu kasih sambil saling
meraba-raba satu sama lain. Bahkan suatu ketika, ada yang kepergok sedang
berciuman begitu mesra tanpa merasa malu dengan pengunjung lain yang ada di
tempat itu. Yah, wajar, mengingat tempat itu cukup terlindung karena adanya
pohon.
Sebaliknya, di bagian barat dari tugu juga terdapat taman, kali
ini lebih besar dan luas daripada yang di bagian timur. Pohon, tumbuhan, serta
bunga di taman ini lebih besar dan tertata rapi. Bahkan beberapa tumbuhan ada
yang dipangkas rapi membentuk hewan seperti jerapah dan singa. Aku kadang tersenyum
geli menatap bentuk hewan itu yang terkesan aneh karena tumbuhannya bertambah
tinggi seiring bertambahnya waktu.
“Hewannya bertambah tinggi,” ucapku berkomentar dengan ekspresi
wajah datar.
Beralih ke bagian selatan tugu. Pada bagian selatan, terdapat
semacam gerbang atau gapura besar berwarna merah dengan desain khas Kalimantan
Tengah. Gerbang ini seolah-olah menyambut pengunjung yang sedang berjalan ke
bagian belakang tugu, keluar menuju dermaga yang tepat berada di tepi Sungai
Kahayan.
Terdapat sebuah
jembatan kayu dengan panjang sekitar dua puluh meter yang menghubungkan
lingkungan tugu dengan dermaga. Pada ujung jembatan ini terdapat beberapa
pondok kecil untuk berteduh dan jalan menurun yang sangat curam untuk menuju ke
bawah.
Bosan menunggu, akupun memutuskan untuk berjalan pelan melewati
jembatan kayu itu sambil mengingat beberapa kenangan lama bersama gadis yang
sedang kutunggu, mengingat saat pertama kali kami datang ke tempat ini. Aku
tersenyum tipis saat mengingat kenangan itu, terutama saat membayangkan
wajahnya.
Setelah melewati jalan menurun itu, aku terlebih dahulu harus
melewati sebuah kafe kecil sebelum masuk ke bagian dermaga. Kafe ini biasanya
digunakan untuk bersantai oleh beberapa anak muda sambil melihat Jembatan
Kahayan yang terlihat jelas di ujung sana.
Aku berjalan
pelan melewati kafe itu untuk masuk ke daerah dermaga. Udara khas pinggiran
Sungai Kahayan langsung terasa, angin yang berhembus lumayan kencang hingga
membuat rambutku tersibak berantakan, dan pemandangan Jembatan Kahayan yang
begitu indah dengan kendaraan terlihat ramai berlau-lalang di atasnya.
Aku menahan
rambutku yang kadang menutupi mata agar bisa leluasa memandang ke arah jembatan
yang warnanya mulai pudar seiring bertambahnya waktu, memandang tempat di mana dulu
aku dan gadis itu berdiri bersama sambil memandang ke bawah, memandang aliran
dari Sungai Kahayan.
“Terasa seperti
baru kemarin,” gumamku.
Kupalingkan
pandanganku ke bagian pinggiran dermaga, memerhatikan beberapa orang yang
tengah berdiri dan membentuk kelompok masing-masing sambil memegang sebuah
kamera.
Di dermaga ini
banyak orang yang berfoto bersama, kadang memotret diri sendiri atau istilah
gaulnya adalah “selfie” dengan latar
belakang Jembatan Kahayan. Sayangnya tempat yang begitu strategis ini tidak
didukung dengan kondisi sungai yang baik. Saat aku melirik ke bawah, aku bisa
melihat di bagian bawah dermaga terdapat tumpukan kayu dan sampah yang
tertumpuk dan tersangkut sampai-sampai lumut dan tumbuhan bisa hidup di
atasnya. Kondisi sungai juga tidak terlalu jernih dan terlihat berlumpur.
Padahal dermaga
ini didukung oleh sebuah kapal dan beberapa perahu yang bisa digunakan untuk
berwisata berkeliling Sungai Kahayan dengan tarif yang cukup murah jika
pengunjung datang berkelompok.
Tidak banyak hal yang bisa dilakukan di dermaga ini selain
mengamati Jembatan Kahayan, termasuk matahari yang mulai terbenam di barat, di
balik jembatan, atau berfoto ria bersama teman-teman. Akupun memutuskan untuk
kembali ke lingkungan tugu, kembali ke asa semula untuk menanti gadis itu.
Seperti biasa, di
saat matahari nyaris terbenam seperti ini, lingkungan tugu inipun mulai
dipenuhi oleh anak-anak muda. Banyak yang datang secara berkelompok, ada yang
berpasangan lawan jenis, tapi tidak sedikit pula yang datang berpasangan dengan
sama jenis. Hanya sedikit yang datang sendiri, walau harus menahan perih kala
melihat mereka yang datang berpasangan sambil bergandengan tangan mesra. Ah,
ya, aku juga datang sendirian.
Banyak yang tidak
tahu bahwa “kehidupan” di Tugu Sukarno ini justru dimulai saat matahari telah
terbenam sepenuhnya, tepatnya sekitar pukul tujuh malam. Saat malam tiba,
lingkungan tugu ini dipenuhi oleh anak-anak muda yang masih sekolah di SMP
hingga yang sudah kuliah. Rata-rata berkumpul dengan alasan untuk refreshing atau sekadar bercerita, melupakan
keluh-kesah sepanjang hari.
Pada bagian depan
tugu, biasanya digunakan oleh beberapa pemuda untuk menggelar latihan break dance, lengkap dengan musik
pengiring yang berasal dari mini speaker
yang mereka bawa sendiri. Pemuda yang berkumpul itu semakin banyak terutama
saat malam minggu seperti ini. Saat mereka mulai latihan, biasanya pengunjung
yang datang ke tugu ini akan duduk di sekeliling tugu untuk menyaksikan mereka
dari dekat.
Aku mendekati
salah satu bangku yang berada di bagian timur tugu untuk duduk sambil kembali
mengambil handphone milikku.
“Hampir pukul
enam,” pikirku saat melihat waktu di layar handphone.
Entahlah, aku sudah hampir bosan menunggunya lama seperti ini.
Kubuka pesan
terkirim di handphone milikku.
Pesanku benar-benar terkirim tetapi belum kunjung ada balasan darinya. Saat
kuhubungi, handphone miliknya tidak
aktif. Hei, sampai kapan ia mau menyiksa diriku seperti ini?
Aku menghela
napas panjang lalu berdiri untuk pergi keluar dari lingkungan tugu. Baru saja
aku akan melangkah pergi, ternyata ia sudah muncul dari arah jalan keluar
sambil menoleh kesana-kemari, mencariku.
Tak lama kemudian
akhirnya ia bisa menyadari keberadaanku lalu tersenyum manis. Sambil
berlari-lari kecil iapun menghampiriku. Rambut hitam panjangnya yang diikat
menjadi satu ke belakang terlihat berayun-ayun mengikuti irama langkah kakinya.
Langkahnya
berhenti saat di depanku. Ia tersenyum manis, menunjukkan garis simetris
sempurna dari lengkung bibirnya yang mungil.
“Maaf terlambat,”
ucapnya lembut sambil memberikan tatapan meminta maaf kepadaku dengan gaya
memohon.
“Aku hampir
pergi,” ucapku padanya sambil tersenyum kecut. “Ada apa dengan handphone milikmu?” tanyaku kemudian.
“Biasa,
baterainya kritis,” jawabnya sambil terkekeh. “Sudahlah, yang penting aku sudah
datang, ayo jalan-jalan!” lanjutnya dengan nada manja. Aku langsung luluh
mendengar ucapannya.
“Ya ya ya,”
jawabku seraya berjalan lalu menggandeng erat tangannya. Kurasakan kehangatan
di tanganku saat ia juga menggenggam erat tanganku, seolah-olah tak ingin
melepaskanku...
□□□
©2014
by Hikaru Xifos
Tulisan ini merupakan tugas untuk
nilai UAS mata kuliah Bahasa Indonesia. Bertemakan: Membuat Karangan Tentang
Objek Wisata di Palangka Raya.
0 komentar:
Posting Komentar
...........................