Selasa, 24 Juni 2014

 6/24/2014 03:54:00 PM      , ,    No comments
Serpihan Asa, Menanti di Tugu Sukarno

            Aku berdiri mematung sesaat sambil memandang ke sekelilingku. Hening sejenak, merasakan semilir angin yang berhembus dan kadang membuat rambutku bergoyang pelan, seolah ingin mengajakku bermain bersamanya. Aku menarik napas panjang lalu mulai berjalan menapaki tangga-tangga kecil di tempat ini, menuju ke bagian tengah, ke arah sebuah tugu yang berdiri tegak tinggi.



            Di depan tugu itu aku berhenti lalu merogoh kantong celanaku untuk mengambil handphone. Nihil. Tidak ada panggilan ataupun pesan yang masuk dari gadis itu, gadis yang kini sedang kutunggu.
            “Kau di mana?” gumamku pelan sambil membuang napas. Aku memasukkan kembali handphone milikku ke dalam kantong lalu mulai berjalan mengelilingi tugu itu untuk sekadar mengamatinya.

            Tugu Sukarno. Kini aku berada di tempat ini dan bisa melihat sebuah tugu yang berdiri tegak tinggi di tengah-tengah. Tugu Sukarno ini didesain sedemikian rupa sehingga tampak menarik. Bagian belakang tugu didirikan beberapa buah pilar yang berbeda tingginya, lalu dikelilingi oleh semacam panggung berbentuk lingkaran dengan tangga di tiap sisi terluarnya. Di luar panggung berbentuk lingkaran itu terdapat tempat duduk yang telah diberi atap sehingga pengunjung bisa duduk untuk berteduh tanpa langsung terkena sengatan sinar matahari saat siang hari.
            Kuakui, letak lingkungan tugu ini begitu strategis, yakni berada tepat di pinggir jalan Ahmad Yani, membuat tempat ini sangat ramai dikunjungi oleh orang-orang yang lewat, baik untuk sekadar singgah ataupun bersantai di sekitar tugu.
            Sebelum masuk ke dalam lingkungan tugu ini, terlebih dahulu aku disambut oleh lahan parkiran yang berada langsung di pinggir jalan, tepat di tepian trotoar yang lebih tinggi daripada jalan. Parkiran ini sendiri dijaga oleh beberapa petugas parkir, di mana pengunjung dikenakan tarif sebesar Rp. 2000 untuk satu motor yang parkir di sini. Aku kurang begitu tahu apakah usaha parkiran ini dipegang oleh pemerintah daerah atau pihak swasta.
Di trotoar dekat parkiran ini juga terdapat beberapa penjual gorengan yang menjajakan gorengan, lengkap dengan minumannya. Para pengunjung yang datang ke tugu ini sering menghabiskan waktu di warung gorengan ini untuk mengisi perut ataupun duduk bersantai.
            Di bagian timur dari tugu terdapat sebuah taman kecil berisi bunga dan tumbuhan hijau. Di situ juga terdapat sebuah pohon yang dikelilingi oleh bangku. Beberapa kali aku datang ke tempat ini, aku masih belum berhasil untuk duduk di bangku itu karena selalu didahului oleh pasangan muda-mudi yang asyik memadu kasih sambil saling meraba-raba satu sama lain. Bahkan suatu ketika, ada yang kepergok sedang berciuman begitu mesra tanpa merasa malu dengan pengunjung lain yang ada di tempat itu. Yah, wajar, mengingat tempat itu cukup terlindung karena adanya pohon.
Sebaliknya, di bagian barat dari tugu juga terdapat taman, kali ini lebih besar dan luas daripada yang di bagian timur. Pohon, tumbuhan, serta bunga di taman ini lebih besar dan tertata rapi. Bahkan beberapa tumbuhan ada yang dipangkas rapi membentuk hewan seperti jerapah dan singa. Aku kadang tersenyum geli menatap bentuk hewan itu yang terkesan aneh karena tumbuhannya bertambah tinggi seiring bertambahnya waktu.
“Hewannya bertambah tinggi,” ucapku berkomentar dengan ekspresi wajah datar.
Beralih ke bagian selatan tugu. Pada bagian selatan, terdapat semacam gerbang atau gapura besar berwarna merah dengan desain khas Kalimantan Tengah. Gerbang ini seolah-olah menyambut pengunjung yang sedang berjalan ke bagian belakang tugu, keluar menuju dermaga yang tepat berada di tepi Sungai Kahayan.
            Terdapat sebuah jembatan kayu dengan panjang sekitar dua puluh meter yang menghubungkan lingkungan tugu dengan dermaga. Pada ujung jembatan ini terdapat beberapa pondok kecil untuk berteduh dan jalan menurun yang sangat curam untuk menuju ke bawah.
Bosan menunggu, akupun memutuskan untuk berjalan pelan melewati jembatan kayu itu sambil mengingat beberapa kenangan lama bersama gadis yang sedang kutunggu, mengingat saat pertama kali kami datang ke tempat ini. Aku tersenyum tipis saat mengingat kenangan itu, terutama saat membayangkan wajahnya.
Setelah melewati jalan menurun itu, aku terlebih dahulu harus melewati sebuah kafe kecil sebelum masuk ke bagian dermaga. Kafe ini biasanya digunakan untuk bersantai oleh beberapa anak muda sambil melihat Jembatan Kahayan yang terlihat jelas di ujung sana.
            Aku berjalan pelan melewati kafe itu untuk masuk ke daerah dermaga. Udara khas pinggiran Sungai Kahayan langsung terasa, angin yang berhembus lumayan kencang hingga membuat rambutku tersibak berantakan, dan pemandangan Jembatan Kahayan yang begitu indah dengan kendaraan terlihat ramai berlau-lalang di atasnya.
            Aku menahan rambutku yang kadang menutupi mata agar bisa leluasa memandang ke arah jembatan yang warnanya mulai pudar seiring bertambahnya waktu, memandang tempat di mana dulu aku dan gadis itu berdiri bersama sambil memandang ke bawah, memandang aliran dari Sungai Kahayan.
            “Terasa seperti baru kemarin,” gumamku.
            Kupalingkan pandanganku ke bagian pinggiran dermaga, memerhatikan beberapa orang yang tengah berdiri dan membentuk kelompok masing-masing sambil memegang sebuah kamera.
            Di dermaga ini banyak orang yang berfoto bersama, kadang memotret diri sendiri atau istilah gaulnya adalah “selfie” dengan latar belakang Jembatan Kahayan. Sayangnya tempat yang begitu strategis ini tidak didukung dengan kondisi sungai yang baik. Saat aku melirik ke bawah, aku bisa melihat di bagian bawah dermaga terdapat tumpukan kayu dan sampah yang tertumpuk dan tersangkut sampai-sampai lumut dan tumbuhan bisa hidup di atasnya. Kondisi sungai juga tidak terlalu jernih dan terlihat berlumpur.
            Padahal dermaga ini didukung oleh sebuah kapal dan beberapa perahu yang bisa digunakan untuk berwisata berkeliling Sungai Kahayan dengan tarif yang cukup murah jika pengunjung datang berkelompok.
Tidak banyak hal yang bisa dilakukan di dermaga ini selain mengamati Jembatan Kahayan, termasuk matahari yang mulai terbenam di barat, di balik jembatan, atau berfoto ria bersama teman-teman. Akupun memutuskan untuk kembali ke lingkungan tugu, kembali ke asa semula untuk menanti gadis itu.
            Seperti biasa, di saat matahari nyaris terbenam seperti ini, lingkungan tugu inipun mulai dipenuhi oleh anak-anak muda. Banyak yang datang secara berkelompok, ada yang berpasangan lawan jenis, tapi tidak sedikit pula yang datang berpasangan dengan sama jenis. Hanya sedikit yang datang sendiri, walau harus menahan perih kala melihat mereka yang datang berpasangan sambil bergandengan tangan mesra. Ah, ya, aku juga datang sendirian.
            Banyak yang tidak tahu bahwa “kehidupan” di Tugu Sukarno ini justru dimulai saat matahari telah terbenam sepenuhnya, tepatnya sekitar pukul tujuh malam. Saat malam tiba, lingkungan tugu ini dipenuhi oleh anak-anak muda yang masih sekolah di SMP hingga yang sudah kuliah. Rata-rata berkumpul dengan alasan untuk refreshing atau sekadar bercerita, melupakan keluh-kesah sepanjang hari.
            Pada bagian depan tugu, biasanya digunakan oleh beberapa pemuda untuk menggelar latihan break dance, lengkap dengan musik pengiring yang berasal dari mini speaker yang mereka bawa sendiri. Pemuda yang berkumpul itu semakin banyak terutama saat malam minggu seperti ini. Saat mereka mulai latihan, biasanya pengunjung yang datang ke tugu ini akan duduk di sekeliling tugu untuk menyaksikan mereka dari dekat.
            Aku mendekati salah satu bangku yang berada di bagian timur tugu untuk duduk sambil kembali mengambil handphone milikku.
            “Hampir pukul enam,” pikirku saat melihat waktu di layar handphone. Entahlah, aku sudah hampir bosan menunggunya lama seperti ini.
            Kubuka pesan terkirim di handphone milikku. Pesanku benar-benar terkirim tetapi belum kunjung ada balasan darinya. Saat kuhubungi, handphone miliknya tidak aktif. Hei, sampai kapan ia mau menyiksa diriku seperti ini?
            Aku menghela napas panjang lalu berdiri untuk pergi keluar dari lingkungan tugu. Baru saja aku akan melangkah pergi, ternyata ia sudah muncul dari arah jalan keluar sambil menoleh kesana-kemari, mencariku.
            Tak lama kemudian akhirnya ia bisa menyadari keberadaanku lalu tersenyum manis. Sambil berlari-lari kecil iapun menghampiriku. Rambut hitam panjangnya yang diikat menjadi satu ke belakang terlihat berayun-ayun mengikuti irama langkah kakinya.
            Langkahnya berhenti saat di depanku. Ia tersenyum manis, menunjukkan garis simetris sempurna dari lengkung bibirnya yang mungil.
            “Maaf terlambat,” ucapnya lembut sambil memberikan tatapan meminta maaf kepadaku dengan gaya memohon.
            “Aku hampir pergi,” ucapku padanya sambil tersenyum kecut. “Ada apa dengan handphone milikmu?” tanyaku kemudian.
            “Biasa, baterainya kritis,” jawabnya sambil terkekeh. “Sudahlah, yang penting aku sudah datang, ayo jalan-jalan!” lanjutnya dengan nada manja. Aku langsung luluh mendengar ucapannya.
            “Ya ya ya,” jawabku seraya berjalan lalu menggandeng erat tangannya. Kurasakan kehangatan di tanganku saat ia juga menggenggam erat tanganku, seolah-olah tak ingin melepaskanku...


□□□


©2014 by Hikaru Xifos



            Tulisan ini merupakan tugas untuk nilai UAS mata kuliah Bahasa Indonesia. Bertemakan: Membuat Karangan Tentang Objek Wisata di Palangka Raya.




          

0 komentar:

Posting Komentar

...........................

Popular Posts

Recent Posts

Click to view my Personality Profile page

Unordered List

"Nilai gak penting, pengetahuan dan wawasan itu yang penting."

Categories

Text Widget

Me.....

Foto saya
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia
Seorang mahasiswa Pendidikan Matematika yang berusaha untuk menyelamatkan umat manusia dari serangan alien hingga akhirnya sebuah meteor jatuh ke ladang gandum dan jadilah sebuah sereal seperti iklan di televisi.

Followers.....