Selasa, 03 Juni 2014

 6/03/2014 08:29:00 PM         No comments

You



You



Jauh di depan sana aku dapat memandang perbukitan dan hutan yang sangat luas. Jalan yang berada di bukit di pinggiran kota ini memang tempat strategis untuk menikmati pemandangan, apalagi saat berdiri di atas trotoar dan merapat ke dekat pagar pembatas.



Aku berjalan pelan mendekati pagar pembatas lalu menarik napas panjang, menghirup udara segar dari alam yang cukup sulit didapatkan jika berada di pusat kota. Aku termenung beberapa saat ketika memandang hutan di depan sana, mengingat kembali kenangan masa lalu yang telah lewat.



Hembusan angin membuatku semakin masuk dalam lamunan. Aku tersadar ketika hembusan angin itu terasa membelai pipiku dengan lembut. Aku sedikit tersentak sambil mengusap pipi kiriku lalu menoleh ke arah kanan, memandang di atas trotoar tak jauh dari tempatku berada.



Kau berdiri di situ dengan tangan kiri menahan rambut panjangmu agar tidak berantakan saat terhembus angin. Bibir merah tipismu tersenyum saat melihat ke arah hutan dan perbukitan di depan kita. Ya, tempat kau berdiri sekarang adalah tempat favoritmu untuk melihat pemandangan ini, aku mengingatnya. Kau menoleh ke arahku lalu tersenyum dengan ekspresi wajah lembut dan pipi yang memerah, aku membalas senyumanmu sambil kembali menatap ke depan. Aku kembali mengingat masa lalu saat kita berdua berada di tempat ini. Ya, hanya kita berdua.



--□□□--




Aku segera menyimpan handphone milikku, memasukkannya kembali ke dalam kantong celanaku. Aku merapikan syal yang melilit di sekitar leherku, udara makin terasa dingin di sore hari, terasa menusuk sampai ke dalam tulang. Terlalu lama dengan kondisi seperti ini bisa membuatku demam, atau mungkin aku sudah demam? Kepalaku terasa sedikit pusing.



Tak lama berselang, terdengar suara nyaring tapi tetap terkesan lembut memanggil namaku. Aku menoleh ke arah asal suara itu.



Dari arah bawah jalan tampak kau berjalan di trotoar dengan napas yang terengah-engah sambil melambai pelan ke arahku. Aku tersenyum saat melihatmu, melihat tubuh mungilmu, dan gerai rambutmu saat terhembus angin.



“Lelah?” tanyaku pelan. Kau hanya membungkuk di hadapanku dengan kedua telapak tangan menyentuh lutut untuk menopang tubuhmu.



Dari ekspresi wajahmu aku tahu kau pasti kelelahan, hanya saja kau menyembunyikannya di balik senyum tipis ceriamu.



“Mungkin, karena aku sedikit berlari,” ucapmu dengan wajah tenang lalu kembali berdiri tegak dan memandangiku. Ekspresi wajahmu perlahan-lahan berubah saat melihat wajahku. “Kau sakit?” tanyamu dengan nada khawatir.



“Entahlah,” jawabku seadanya sambil tersenyum kecut.



Kau segera melepas sarung tangan yang kau pakai lalu menyentuh pipi kiriku dengan lembut. Kau menutup mata beberapa saat lalu membuka mata dan memandang lembut ke arahku. Pupil matamu yang berwarna cokelat terlihat jelas dalam jarak sedekat ini. Kehangatan telapak tangan kananmu menenangkanku.



“Sedikit panas,” ucapmu pelan, “tapi jika kau beristirahat sekarang, mungkin besok kau sudah sembuh,” tambahmu seraya memasang kembali sarung tanganmu.



Aku segera meraih tangan kananmu. Kau sedikit terkejut lalu memandang ke wajahku.



“Bukan itu yang kuinginkan,” jawabku lembut dengan pandangan nakal.



“Aku pulang,” ucapmu cepat dan langsung membalikkan badan.



“He..hei!!” ucapku sambil tetap menggenggam erat tanganmu, berusaha untuk menahan agar kau tidak pergi meskipun aku tahu kau tidak akan mungkin pergi. Kau berbalik dengan ekspresi wajah masam yang dibuat-buat. “Aku ingin kau menemaniku di sini sebentar,” pintaku, jujur, sedikit agak malu.



Tak lama berselang kita berdiri bersama memandang hutan yang berada jauh di depan melalui pinggiran jalan. Aku melirik ke arah wajahmu, matamu tampak sangat tenang. Aku segera menggenggam erat tangan kirimu dan langsung memanggilmu.



“Anzu,” ucapku pelan. Kau menoleh. “Aku mencintaimu,” ucapku tegas. Kau memandangku datar beberapa saat.



“Ya, kau terus-menerus mengatakannya selama setahun ini,” ucapmu lembut, “aku juga mencintaimu,” balasmu.



Aku terdiam. Sudah satu tahun kita menjadi sepasang kekasih tapi entah kenapa aku belum puas untuk mengatakan betapa aku sangat menyayangi dan mencintaimu.



“Jadi, ke mana kau akan melanjutkan kuliah?” tanyamu padaku, berusaha memastikan kembali ke mana tujuanku setelah ini.



“Eh? Mungkin... di luar kota,” jawabku sambil mengusap jemari tangan kirimu. “Kau sendiri?”



“Di luar kota juga. Di tempat yang jauh. Sangat jauh,” jawabmu dengan wajah sedikit kecewa.



“Tenanglah, itu hanya sementara. Kita akan bertemu lagi di sini,” ucapku yakin.



Kau mengangguk mendengar ucapanku. Dari ekspresi wajahmu aku tahu bahwa kau sangat sedih dan tidak rela jika kita berdua terpisah oleh jarak.



Sesaat kita terdiam. Tidak ada kata yang bisa terucap. Hening. Kau mengangkat wajahmu lalu mendekatkan wajahmu ke arahku dengan ragu-ragu. Aku tersentak. Hangat. Terasa hangat. Aku menutup mata dan tidak peduli dengan hal lain di sekitarku. Aku perlahan segera melingkarkan kedua tanganku di punggungmu. Larut, semakin larut. Kita berdua semakin larut.



Tak lama kemudian kita berjalan bersama menuruni jalan untuk pulang. Kita diam tak berbicara dengan tangan yang saling menggenggam. Terasa canggung. Tak lama kemudian kau merogoh saku jaketmu untuk mengambil sesuatu. Surat?



“Ng... ini. Untukmu,” ucapmu dengan wajah sedikit memerah sambil menyodorkan surat itu ke arahku.



Aku berniat mengambil surat itu, tapi angin dengan kasar segera meniup surat itu ketika kau melepaskannya dan tanganku sudah menyentuhnya. Aku terlalu gugup dan tanganku bergetar karena mengingat kejadian barusan. Kita baru pertama kali melakukannya.



Kau segera berlari kecil ke jalan untuk mengambil surat itu. Aku termenung. Untuk apa kau memberikanku surat? Apakah ada kata yang sulit diucapkan langsung ataukah sebuah kata-kata perpisahan?



Aku berhenti menebak setelah sebuah mobil tipe sport melaju kencang dari puncak dan menabrak tubuhmu yang sedang berjongkok untuk mengambil surat. Aku tidak sempat bertindak apa-apa lagi. Tubuhmu langsung tergolek lemas di jalan setelah terlebih dahulu terlempar beberapa meter. Darah mengucur deras dari kepalamu dan mengalir ke aspal yang dingin. Ini mimpi? Tubuhku diam tak bergerak. Pikiranku terasa kosong.



□□□



“Berhenti melamun,” ucap Alex tiba-tiba. Aku tersadar dari lamunanku dan menyadari Alex, teman akrabku, sedang berdiri tidak jauh dari tempatku berada. Ia terlihat memandangiku dengan tatapan datar, sedikit prihatin.



“Ah, ya,” ucapku.



“Mendaki jalanan di bukit seperti ini cukup menyenangkan,” ucap Alex berkomentar. “Sudah waktunya, ayo pergi,” ucapnya kemudian.



“Baiklah,” ucapku. Aku berbalik, hanya untuk mendapatkan bahwa kau sudah tidak ada lagi di tempat kau berdiri saat kita berdua di sini. Aku menghela napas lalu segera melangkahkan kakiku menuruni jalanan untuk menyusul Alex.



“Sudah tiga tahun, ya?” ucap Alex saat menyadari aku sudah berjalan mengikutinya.



“Ya,” ucapku pelan.



“Di makam nanti jangan menangis terlalu lama seperti saat di rumah sakit. Anzu pasti tidak senang,” ucap Alex, berusaha menghibur. Aku hanya terkekeh.



“Bahkan di saat aku sedikit dalam kesusahan, dia sudah khawatir,” ucapku sambil mengusap pipi kiriku, mengingat kembali kehangatan telapak tanganmu.



“Jadi, apa isi surat yang diberikan oleh Anzu saat itu? Kau tidak pernah mengatakannya kepada semua temanmu,” ucap Alex seraya menoleh ke belakang, ke arahku, dengan tatapan penasaran. Aku hanya tersenyum.



“Hanya ucapan yang mengungkapkan betapa dia mencintaiku,” ucapku pelan.



□□□



©2013 by Hikaru Xifos, You



Cerpen ini merupakan cerpen yang iseng saya ikut sertakan di dalam event menulis di sebuah grup House of Romance di FB dengan tema “Telapak tangan”. Yah, sekadar ikut memeriahkan.

0 komentar:

Posting Komentar

...........................

Popular Posts

Recent Posts

Click to view my Personality Profile page

Unordered List

"Nilai gak penting, pengetahuan dan wawasan itu yang penting."

Categories

Text Widget

Me.....

Foto saya
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia
Seorang mahasiswa Pendidikan Matematika yang berusaha untuk menyelamatkan umat manusia dari serangan alien hingga akhirnya sebuah meteor jatuh ke ladang gandum dan jadilah sebuah sereal seperti iklan di televisi.

Followers.....