You
Jauh di depan sana aku
dapat memandang perbukitan dan hutan yang sangat luas. Jalan yang
berada di bukit di pinggiran kota ini memang tempat strategis untuk
menikmati pemandangan, apalagi saat berdiri di atas trotoar dan
merapat ke dekat pagar pembatas.
Aku berjalan pelan
mendekati pagar pembatas lalu menarik napas panjang, menghirup udara
segar dari alam yang cukup sulit didapatkan jika berada di pusat
kota. Aku termenung beberapa saat ketika memandang hutan di depan
sana, mengingat kembali kenangan masa lalu yang telah lewat.
Hembusan angin membuatku
semakin masuk dalam lamunan. Aku tersadar ketika hembusan angin itu
terasa membelai pipiku dengan lembut. Aku sedikit tersentak sambil
mengusap pipi kiriku lalu menoleh ke arah kanan, memandang di atas
trotoar tak jauh dari tempatku berada.
Kau berdiri di situ
dengan tangan kiri menahan rambut panjangmu agar tidak berantakan
saat terhembus angin. Bibir merah tipismu tersenyum saat melihat ke
arah hutan dan perbukitan di depan kita. Ya, tempat kau berdiri
sekarang adalah tempat favoritmu untuk melihat pemandangan ini, aku
mengingatnya. Kau menoleh ke arahku lalu tersenyum dengan ekspresi
wajah lembut dan pipi yang memerah, aku membalas senyumanmu sambil
kembali menatap ke depan. Aku kembali mengingat masa lalu saat kita
berdua berada di tempat ini. Ya, hanya kita berdua.
Aku segera menyimpan
handphone milikku,
memasukkannya kembali ke dalam kantong celanaku. Aku merapikan syal
yang melilit di sekitar leherku, udara makin terasa dingin di sore
hari, terasa menusuk sampai ke dalam tulang. Terlalu lama dengan
kondisi seperti ini bisa membuatku demam, atau mungkin aku sudah
demam? Kepalaku terasa sedikit pusing.
Tak
lama berselang, terdengar suara nyaring tapi tetap terkesan lembut
memanggil namaku. Aku menoleh ke arah asal suara itu.
Dari arah bawah jalan
tampak kau berjalan di trotoar dengan napas yang terengah-engah
sambil melambai pelan ke arahku. Aku tersenyum saat melihatmu,
melihat tubuh mungilmu, dan gerai rambutmu saat terhembus angin.
“Lelah?” tanyaku
pelan. Kau hanya membungkuk di hadapanku dengan kedua telapak tangan
menyentuh lutut untuk menopang tubuhmu.
Dari ekspresi wajahmu aku
tahu kau pasti kelelahan, hanya saja kau menyembunyikannya di balik
senyum tipis ceriamu.
“Mungkin, karena aku
sedikit berlari,” ucapmu dengan wajah tenang lalu kembali berdiri
tegak dan memandangiku. Ekspresi wajahmu perlahan-lahan berubah saat
melihat wajahku. “Kau sakit?” tanyamu dengan nada khawatir.
“Entahlah,” jawabku
seadanya sambil tersenyum kecut.
Kau segera melepas sarung
tangan yang kau pakai lalu menyentuh pipi kiriku dengan lembut. Kau
menutup mata beberapa saat lalu membuka mata dan memandang lembut ke
arahku. Pupil matamu yang berwarna cokelat terlihat jelas dalam jarak
sedekat ini. Kehangatan telapak tangan kananmu menenangkanku.
“Sedikit panas,”
ucapmu pelan, “tapi jika kau beristirahat sekarang, mungkin besok
kau sudah sembuh,” tambahmu seraya memasang kembali sarung
tanganmu.
Aku segera meraih tangan
kananmu. Kau sedikit terkejut lalu memandang ke wajahku.
“Bukan itu yang
kuinginkan,” jawabku lembut dengan pandangan nakal.
“Aku pulang,” ucapmu
cepat dan langsung membalikkan badan.
“He..hei!!” ucapku
sambil tetap menggenggam erat tanganmu, berusaha untuk menahan agar
kau tidak pergi meskipun aku tahu kau tidak akan mungkin pergi. Kau
berbalik dengan ekspresi wajah masam yang dibuat-buat. “Aku ingin
kau menemaniku di sini sebentar,” pintaku, jujur, sedikit agak
malu.
Tak lama berselang kita
berdiri bersama memandang hutan yang berada jauh di depan melalui
pinggiran jalan. Aku melirik ke arah wajahmu, matamu tampak sangat
tenang. Aku segera menggenggam erat tangan kirimu dan langsung
memanggilmu.
“Anzu,” ucapku pelan.
Kau menoleh. “Aku mencintaimu,” ucapku tegas. Kau memandangku
datar beberapa saat.
“Ya, kau terus-menerus
mengatakannya selama setahun ini,” ucapmu lembut, “aku juga
mencintaimu,” balasmu.
Aku terdiam. Sudah satu
tahun kita menjadi sepasang kekasih tapi entah kenapa aku belum puas
untuk mengatakan betapa aku sangat menyayangi dan mencintaimu.
“Jadi, ke mana kau akan
melanjutkan kuliah?” tanyamu padaku, berusaha memastikan kembali ke
mana tujuanku setelah ini.
“Eh? Mungkin... di luar
kota,” jawabku sambil mengusap jemari tangan kirimu. “Kau
sendiri?”
“Di luar kota juga. Di
tempat yang jauh. Sangat jauh,” jawabmu dengan wajah sedikit
kecewa.
“Tenanglah, itu hanya
sementara. Kita akan bertemu lagi di sini,” ucapku yakin.
Kau mengangguk mendengar
ucapanku. Dari ekspresi wajahmu aku tahu bahwa kau sangat sedih dan
tidak rela jika kita berdua terpisah oleh jarak.
Sesaat kita terdiam.
Tidak ada kata yang bisa terucap. Hening. Kau mengangkat wajahmu lalu
mendekatkan wajahmu ke arahku dengan ragu-ragu. Aku tersentak.
Hangat. Terasa hangat. Aku menutup mata dan tidak peduli dengan hal
lain di sekitarku. Aku perlahan segera melingkarkan kedua tanganku di
punggungmu. Larut, semakin larut. Kita berdua semakin larut.
Tak lama kemudian kita
berjalan bersama menuruni jalan untuk pulang. Kita diam tak berbicara
dengan tangan yang saling menggenggam. Terasa canggung. Tak lama
kemudian kau merogoh saku jaketmu untuk mengambil sesuatu. Surat?
“Ng... ini. Untukmu,”
ucapmu dengan wajah sedikit memerah sambil menyodorkan surat itu ke
arahku.
Aku berniat mengambil
surat itu, tapi angin dengan kasar segera meniup surat itu ketika kau
melepaskannya dan tanganku sudah menyentuhnya. Aku terlalu gugup dan
tanganku bergetar karena mengingat kejadian barusan. Kita baru
pertama kali melakukannya.
Kau segera berlari kecil
ke jalan untuk mengambil surat itu. Aku termenung. Untuk apa kau
memberikanku surat? Apakah ada kata yang sulit diucapkan langsung
ataukah sebuah kata-kata perpisahan?
Aku berhenti menebak
setelah sebuah mobil tipe sport
melaju kencang dari puncak dan menabrak tubuhmu yang sedang
berjongkok untuk mengambil surat. Aku tidak sempat bertindak apa-apa
lagi. Tubuhmu langsung tergolek lemas di jalan setelah terlebih
dahulu terlempar beberapa meter. Darah mengucur deras dari kepalamu
dan mengalir ke aspal yang dingin. Ini mimpi? Tubuhku diam tak
bergerak. Pikiranku terasa kosong.
□□□
“Berhenti melamun,”
ucap Alex tiba-tiba. Aku tersadar dari lamunanku dan menyadari Alex,
teman akrabku, sedang berdiri tidak jauh dari tempatku berada. Ia
terlihat memandangiku dengan tatapan datar, sedikit prihatin.
“Ah, ya,” ucapku.
“Mendaki jalanan di
bukit seperti ini cukup menyenangkan,” ucap Alex berkomentar.
“Sudah waktunya, ayo pergi,” ucapnya kemudian.
“Baiklah,” ucapku.
Aku berbalik, hanya untuk mendapatkan bahwa kau sudah tidak ada lagi
di tempat kau berdiri saat kita berdua di sini. Aku menghela napas
lalu segera melangkahkan kakiku menuruni jalanan untuk menyusul Alex.
“Sudah tiga tahun, ya?”
ucap Alex saat menyadari aku sudah berjalan mengikutinya.
“Ya,” ucapku pelan.
“Di makam nanti jangan
menangis terlalu lama seperti saat di rumah sakit. Anzu pasti tidak
senang,” ucap Alex, berusaha menghibur. Aku hanya terkekeh.
“Bahkan di saat aku
sedikit dalam kesusahan, dia sudah khawatir,” ucapku sambil
mengusap pipi kiriku, mengingat kembali kehangatan telapak tanganmu.
“Jadi, apa isi surat
yang diberikan oleh Anzu saat itu? Kau tidak pernah mengatakannya
kepada semua temanmu,” ucap Alex seraya menoleh ke belakang, ke
arahku, dengan tatapan penasaran. Aku hanya tersenyum.
“Hanya ucapan yang
mengungkapkan betapa dia mencintaiku,” ucapku pelan.
□□□
©2013
by Hikaru Xifos, You
Cerpen ini merupakan
cerpen yang iseng saya ikut sertakan di dalam event
menulis di sebuah grup House of Romance di FB dengan
tema “Telapak tangan”. Yah, sekadar ikut memeriahkan.
0 komentar:
Posting Komentar
...........................