Jumat, 27 Maret 2015

 3/27/2015 08:44:00 AM      ,    No comments

Dari Daftar Ulang ke AKSI Kampus 2013 (Curcol)

Sesak. Aku terdiam mengamati pemandangan di depanku saat ini. Jika kau pernah melihat orang-orang yang sedang berebutan sembako gratis, pemandangan seperti itulah yang tepat untuk menggambarkan kejadian yang kulihat.
“Damn, gimana mau daftarnya kalau kayak gini?” batinku dengan tampang datar sambil mengelap keringat di leher. Aku memang berdiri cukup jauh dari kerumunan itu, berusaha menyusun strategi yang tepat agar bisa melewati mereka dengan anggota tubuh yang masih lengkap saat tiba di ujung.
Puluhan...tidak, ada ratusan mahasiswa yang berhamburan di BAAK saat ini. Yaps, mahasiswa, bukan calon mahasiswa lagi. Mereka yang terlihat saat ini adalah orang-orang yang berhasil menaklukkan rintangan SBMPTN. Sedangkan menurut kabar badai, yang lulus SNMPTN sudah terlebih dahulu daftar ulang beberapa minggu sebelumnya.
Yeah, memang kalau penampilan para “pejuang” penakluk SBMPTN itu memang greget banget, ya. Rambut mohawk, gadis putih mulus penuh tepung di wajah, obral KFC di mana-mana, pabrik asap di beberapa mulut, hingga celana jeans penuh sobekan pada beberapa bagian. Hohoho, sepertinya aku akan menikmati dunia perkuliahan ini. Sepertinya. Semoga. Mungkin.
□□□

Yoo! Ketemu lagi, guys! *keluar dari balik selimut* we-o-we, kayaknya udah lama, nih, saya gak nulis di blog ini. Maklum, pesona tugas kuliah yang begitu manis (penuh angka dan simbol) sedang mengalihkan dunia saya. DemiGod, saya sampai curi-curi waktu di sela-sela kesibukan perkuliahan saya agar bisa mengetik artikel (curcol) ini.
Yaps, tetap semangat buat pembaca dan makhluk transparan di pojokan sana. Kali ini saya mau cerita tentang pengalaman saya pas daftar ulang. Pasang sabuk pengaman kalian, kita berangkat!

“Di mana, sih?” saya cuma bisa bengong di area kampus. Pertama kalinya ke UNPAR, Universitas Palangka Raya, sendirian pula. Saya cuma bisa ngenes cari tempat buat daftar ulang sambil jalan kaki menempuh luasnya areal kampus ini.
Ini yang bikin kampus siapa, sih? Oke, saya tau kampus ini terlihat gak begitu megah karena hampir gak ada gedung kuliah yang bertingkat (kira-kira begitulah apa yang dikatakan teman saya yang kuliah di sebuah Perguruan Tinggi di luar Kalimantan). Ya iyalah, ini Kalimantan. Tanah kosongnya luas. Ngapain membangun gedung kuliah ke atas kalau masih bisa dibangun ke samping. -_- situ, kan, kuliahnya di tempat yang padat. Lagian gak perlu capek-capek naik tangga atau bengong di dalam (bahkan berebutan masuk) lift kalau mau ke kelas.
Balik lagi ke topik: “Ini yang bikin kampus siapa, sih?”. Gila, luas banget. Dari ujung ke ujung sama kayak luas satu desa. Udah berapa kali ini keringat jatuh berhamburan ke tanah dan merembes ke baju yang saya pakai gara-gara jalan kaki ke BAAK yang ternyata berada di dekat gerbang barat daya, gak jauh dari rumah teman tempat saya numpang menaruh nyawa untuk sementara ini. Kalau tau gitu, ngapain pula saya capek-capek masuk lewat gerbang selatan. (-_-”)
Pas udah sampai di BAAK, saya cuma melihat lautan manusia yang kayak lagi perang macam di film 300. Berbagai bentuk, motif, dan rupa manusia terlihat di tempat ini. Mulai dari yang kelihatan narsis tingkat dewa, percaya diri tingkat tinggi, kalem tingkat sunyi, hingga yang minder tingkat tumbuhan putri malu. Semuanya lengkap.
Bagi yang punya skill untuk bersosialisasi, gak akan sulit kok menghadapi yang kayak gini. Tinggal pasang senyum, bertanya dengan sopan ke siapa aja, beres. Kayaknya gak berlaku untuk semua, sih. Beberapa ada yang sampai bawa orang tuanya buat mendaftar. Malah saya sempat mengira orang tuanya yang mau kuliah, loh. Yeps, pintar aja gak cukup jadi modal. Untuk bertahan hidup di dunia ini, Anda perlu bersosialisasi dengan siapa saja.
Dengan bermodalkan pemikiran seperti itu, saya pun mencari sasaran yang empuk buat jadi narasumber. Ah, tampak ada seseorang yang duduk di sana kayaknya cocok. Setelah transaksi informasi yang cukup cepat terjadi, dengan kalem orang itu mengarahkan telunjuknya ke sebuah loket di belakangnya.
“Tuh, di sana,” ucapnya. Saya menoleh ke tempat yang dia tunjuk. Damn, itu tempat kayak loket tiket bioskop antreannya.
Setelah mengucapkan terima kasih, saya langsung ikut rebutan antre. Pas lagi mengantre, saya ketemu teman saya yang juga dari SMANDA Sampit, dia masuk Ekonomi. Well, dari dia saya tau kalau persyaratan buat daftar ulang adalah data diri singkat dan nomor UKT. Nah, nomor UKT rupanya bisa didapatkan di ruangan sebelah dekat loket paling ujung di BAAK. Saya langsung putar haluan dan menuju ke TKP.
Pas udah sampai TKP, saya ketemu teman saya zaman SMP dulu. Namanya Ryan, dia masuk Pend. Teknik Mesin. Dengan menggabungkan segenap kemampuan kami berdua (dan kebetulan dia udah kelar daftar ulang), akhirnya dia ngebantu saya buat melengkapi data untuk berkas daftar ulang. Rupanya di dalam ruangan itu udah dipenuhi kertas yang ditempel di papan pengumuman, berisi nama dan UKT mahasiswa. Saya mencari bagian Matematika lalu mencari nama saya. Dapat! Saya menggeser telunjuk saya ke kanan secara perlahan, mengarahkan ke bagian biaya UKT.
“Gila! UKT punyaku mahal banget!” ucap saya agak kaget dengan wajah datar sambil melihat nominal yang cukup besar tertera di kertas.
“Kampret, kamu salah tunjuk! Yang bawah tuh yang benar!” komentar Ryan kesal.
“Iya iya, sengaja.” Saya terkekeh melihat reaksi Ryan.
Sistem biaya kuliah di era saya masuk menggunakan sistem UKT, Uang Kuliah Tunggal, di mana setiap mahasiswa dikenakan biaya kuliah yang berbeda tiap orangnya tergantung dari penghasilan orang tua dan data-data yang dimasukkan saat mendaftar mengikuti SNMPTN dan SBMPTN dulu. Yah, karena sistem ini pula banyak yang mendapatkan UKT tinggi merasa sedikit tidak terima atau mengeluh atau iri dengan mereka yang mendapatkan UKT rendah. Damn, tingkat ekonomi tiap orang itu berbeda-beda juga, ndul.
Anda bisa mengatakan dua juta rupiah itu “murah” karena gaji orang tua Anda bisa belasan juta tiap bulannya. Saya kasih tahu satu rahasia kecil, gaji pekerja di perkebunan sawit di Kalimantan ini (setahu saya) untuk yang tingkat buruh-tetap aja berkisar 1,5 juta tiap bulannya. Kalau suami-istri sama-sama kerja, total gajinya ya tiga juta. Bandingkan dengan keluarga yang (anggaplah kita misalkan) memiliki Ayah bercap PNS yang masih muda. Hitung aja berapa gaji PNS untuk golongan tinggi sekarang. So, itulah gunanya Matematika, berhitung/berpikir logis dulu sebelum berucap atau menarik kesimpulan.
Nah, lanjut lagi. Rupanya data yang didapatkan itu cuma ditulis di selembar kertas lalu diserahkan ke loket paling pinggir. Kami berdua keluar untuk menyerahkan data itu ke loket. Pas di loket, saya langsung transaksi. Gak lama kemudian saya mendapatkan Kartu Her-Registrasi (KHR) dan slip pembayaran UKT di BRI, lengkap dengan cap biaya UKT dan NIM saya di depan.
NIM saya yang saya terima saat itu (dan tentunya dipakai sampai sekarang) adalah ACA 113 069. Sial, seandainya saya bersabar sedikit aja dan menunggu orang lain duluan ngambil KHR, mungkin saya bisa dapat nomor 070 atau 077. Lucky Seven, entah kenapa suka aja sama itu nomor dari dulu.
Setelah memberitahukan langkah-langkah selanjutnya, akhirnya Ryan pamit pulang. Kini saya harus membayar UKT dulu di BRI baru bisa daftar ulang di loket yang paling awal saya datangi itu. Saya segera menelepon teman yang memberi tumpangan tempat tinggal ke saya untuk menjemput. Namanya Ehendra, biasa dipanggil Ehen. Saya pun meminta untuk diantarkan ke BRI terdekat.
Beruntung, BRI tersebut cuma 300 meter dari rumah Ehen dan gak terlalu banyak antrean. Sebentar aja, maka proses pembayaran pun selesai. Slip ditandatangani petugas lalu diberi cap agar diserahkan kembali ke loket di BAAK. Karena hari sudah siang dan BAAK akan tutup, terpaksa saya harus menunggu esok hari supaya bisa daftar ulang.

[Tulisan di atas ditulis terakhir kali pada Juni 2014. Karena laptop penulis rusak dari Juni sampai seterusnya. Tulisan di bawah ditulis pada Maret 2015]

Esoknya saya balik buat daftar ulang. Wuih, padat banget sampai berdesak-desakan kayak rebutan sembako gratis. Setelah menyerahkan semua slip ke setiap loket yang diminta, saya mendapatkan KRS di loket terakhir dan disuruh mendaftar di fakultas dan prodi.
Saya udah lupa apa yang saya lakukan seterusnya. Yang pasti, saya mengecek ke bagian BEM FKIP untuk melihat jadwal ospek. Sesampainya di BEM FKIP, saya membaca sebuah pengumuman di kertas yang di tempel. Kegiatan ospek akan dimulai sebentar lagi dan semua peserta disuruh menggunakan kostum dan membawa benda-benda yang you know what I mean, right? Setiap peserta diwajibkan hadir di halaman BEM pukul 05.00 WIP untuk mengikuti kegiatan pra-ospek. Iya, WIP. Waktu Indonesia Panitia.
Ospek kali ini disebut AKSI Kampus 2013. Aktivitas, Kreativitas, dan Sosialisasi Kampus FKIP UNPAR. Well, di sinilah semuanya akan dimulai.
Lalu, sampai tulisan ini selesai ditulis, pertanyaan: “Ini yang bikin kampus siapa, sih?” belum juga terjawab. Sampai jumpa di kisah ospek yang mencekam.

0 komentar:

Posting Komentar

...........................

Popular Posts

Recent Posts

Click to view my Personality Profile page

Unordered List

"Nilai gak penting, pengetahuan dan wawasan itu yang penting."

Categories

Text Widget

Me.....

Foto saya
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia
Seorang mahasiswa Pendidikan Matematika yang berusaha untuk menyelamatkan umat manusia dari serangan alien hingga akhirnya sebuah meteor jatuh ke ladang gandum dan jadilah sebuah sereal seperti iklan di televisi.

Followers.....