Dari
Daftar Ulang ke AKSI Kampus 2013 (Curcol)
Sesak.
Aku terdiam mengamati pemandangan di depanku saat ini. Jika kau
pernah melihat orang-orang yang sedang berebutan sembako gratis,
pemandangan seperti itulah yang tepat untuk menggambarkan kejadian
yang kulihat.
“Damn,
gimana mau daftarnya kalau kayak gini?” batinku dengan tampang
datar sambil mengelap keringat di leher. Aku memang berdiri cukup
jauh dari kerumunan itu, berusaha menyusun strategi yang tepat agar
bisa melewati mereka dengan anggota tubuh yang masih lengkap saat
tiba di ujung.
Puluhan...tidak,
ada ratusan mahasiswa yang berhamburan di BAAK saat ini. Yaps,
mahasiswa, bukan calon mahasiswa lagi. Mereka yang terlihat saat ini
adalah orang-orang yang berhasil menaklukkan rintangan SBMPTN.
Sedangkan menurut kabar badai, yang lulus SNMPTN sudah terlebih
dahulu daftar ulang beberapa minggu sebelumnya.
Yeah,
memang kalau penampilan para “pejuang” penakluk SBMPTN itu memang
greget banget, ya. Rambut mohawk,
gadis putih mulus penuh tepung di wajah, obral KFC di mana-mana,
pabrik asap di beberapa mulut, hingga celana jeans
penuh sobekan pada beberapa bagian. Hohoho, sepertinya aku akan
menikmati dunia perkuliahan ini. Sepertinya. Semoga. Mungkin.
□□□
Yoo!
Ketemu lagi, guys! *keluar dari balik selimut* we-o-we, kayaknya udah
lama, nih, saya gak nulis di blog ini. Maklum, pesona tugas kuliah
yang begitu manis (penuh angka dan simbol) sedang mengalihkan dunia
saya. DemiGod, saya sampai curi-curi waktu di sela-sela kesibukan
perkuliahan saya agar bisa mengetik artikel (curcol) ini.
Yaps,
tetap semangat buat pembaca dan makhluk transparan di pojokan sana.
Kali ini saya mau cerita tentang pengalaman saya pas daftar ulang.
Pasang sabuk pengaman kalian, kita berangkat!
“Di
mana, sih?” saya cuma bisa bengong di area kampus. Pertama kalinya
ke UNPAR, Universitas Palangka Raya, sendirian pula. Saya cuma bisa
ngenes cari tempat buat daftar ulang sambil jalan kaki menempuh
luasnya areal kampus ini.
Ini
yang bikin kampus siapa, sih? Oke, saya tau kampus ini terlihat gak
begitu megah karena hampir gak ada gedung kuliah yang bertingkat
(kira-kira begitulah apa yang dikatakan teman saya yang kuliah di
sebuah Perguruan Tinggi di luar Kalimantan). Ya iyalah, ini
Kalimantan. Tanah kosongnya luas. Ngapain membangun gedung kuliah ke
atas kalau masih bisa dibangun ke samping. -_- situ, kan, kuliahnya
di tempat yang padat. Lagian gak perlu capek-capek naik tangga atau
bengong di dalam (bahkan berebutan masuk) lift kalau mau ke kelas.
Balik
lagi ke topik: “Ini yang bikin kampus siapa, sih?”. Gila, luas
banget. Dari ujung ke ujung sama kayak luas satu desa. Udah berapa
kali ini keringat jatuh berhamburan ke tanah dan merembes ke baju
yang saya pakai gara-gara jalan kaki ke BAAK yang ternyata berada di
dekat gerbang barat daya, gak jauh dari rumah teman tempat saya
numpang menaruh nyawa untuk sementara ini. Kalau tau gitu, ngapain
pula saya capek-capek masuk lewat gerbang selatan. (-_-”)
Pas
udah sampai di BAAK, saya cuma melihat lautan manusia yang kayak lagi
perang macam di film 300.
Berbagai bentuk, motif, dan rupa manusia terlihat di tempat ini.
Mulai dari yang kelihatan narsis tingkat dewa, percaya diri tingkat
tinggi, kalem tingkat sunyi, hingga yang minder tingkat tumbuhan
putri malu. Semuanya lengkap.
Bagi
yang punya skill untuk bersosialisasi, gak akan sulit kok menghadapi
yang kayak gini. Tinggal pasang senyum, bertanya dengan sopan ke
siapa aja, beres. Kayaknya gak berlaku untuk semua, sih. Beberapa ada
yang sampai bawa orang tuanya buat mendaftar. Malah saya sempat
mengira orang tuanya yang mau kuliah, loh. Yeps, pintar aja gak cukup
jadi modal. Untuk bertahan hidup di dunia ini, Anda perlu
bersosialisasi dengan siapa saja.
Dengan
bermodalkan pemikiran seperti itu, saya pun mencari sasaran yang
empuk buat jadi narasumber. Ah, tampak ada seseorang yang duduk di
sana kayaknya cocok. Setelah transaksi informasi yang cukup cepat
terjadi, dengan kalem orang itu mengarahkan telunjuknya ke sebuah
loket di belakangnya.
“Tuh,
di sana,” ucapnya. Saya menoleh ke tempat yang dia tunjuk. Damn,
itu tempat kayak loket tiket bioskop antreannya.
Setelah
mengucapkan terima kasih, saya langsung ikut rebutan antre. Pas lagi
mengantre, saya ketemu teman saya yang juga dari SMANDA Sampit, dia
masuk Ekonomi. Well, dari dia saya tau kalau persyaratan buat daftar
ulang adalah data diri singkat dan nomor UKT. Nah, nomor UKT rupanya
bisa didapatkan di ruangan sebelah dekat loket paling ujung di BAAK.
Saya langsung putar haluan dan menuju ke TKP.
Pas
udah sampai TKP, saya ketemu teman saya zaman SMP dulu. Namanya Ryan,
dia masuk Pend. Teknik Mesin. Dengan menggabungkan segenap kemampuan
kami berdua (dan kebetulan dia udah kelar daftar ulang), akhirnya dia
ngebantu saya buat melengkapi data untuk berkas daftar ulang. Rupanya
di dalam ruangan itu udah dipenuhi kertas yang ditempel di papan
pengumuman, berisi nama dan UKT mahasiswa. Saya mencari bagian
Matematika lalu mencari nama saya. Dapat! Saya menggeser telunjuk
saya ke kanan secara perlahan, mengarahkan ke bagian biaya UKT.
“Gila!
UKT punyaku mahal banget!” ucap saya agak kaget dengan wajah datar
sambil melihat nominal yang cukup besar tertera di kertas.
“Kampret,
kamu salah tunjuk! Yang bawah tuh yang benar!” komentar Ryan kesal.
“Iya
iya, sengaja.” Saya terkekeh melihat reaksi Ryan.
Sistem
biaya kuliah di era saya masuk menggunakan sistem UKT, Uang Kuliah
Tunggal, di mana setiap mahasiswa dikenakan biaya kuliah yang berbeda
tiap orangnya tergantung dari penghasilan orang tua dan data-data
yang dimasukkan saat mendaftar mengikuti SNMPTN dan SBMPTN dulu. Yah,
karena sistem ini pula banyak yang mendapatkan UKT tinggi merasa
sedikit tidak terima atau mengeluh atau iri dengan mereka yang
mendapatkan UKT rendah. Damn, tingkat ekonomi tiap orang itu
berbeda-beda juga, ndul.
Anda
bisa mengatakan dua juta rupiah itu “murah” karena gaji orang tua
Anda bisa belasan juta tiap bulannya. Saya kasih tahu satu rahasia
kecil, gaji pekerja di perkebunan sawit di Kalimantan ini (setahu
saya) untuk yang tingkat buruh-tetap aja berkisar 1,5 juta tiap
bulannya. Kalau suami-istri sama-sama kerja, total gajinya ya tiga
juta. Bandingkan dengan keluarga yang (anggaplah kita misalkan)
memiliki Ayah bercap PNS yang masih muda. Hitung aja berapa gaji PNS
untuk golongan tinggi sekarang. So, itulah gunanya Matematika,
berhitung/berpikir logis dulu sebelum berucap atau menarik
kesimpulan.
Nah,
lanjut lagi. Rupanya data yang didapatkan itu cuma ditulis di
selembar kertas lalu diserahkan ke loket paling pinggir. Kami berdua
keluar untuk menyerahkan data itu ke loket. Pas di loket, saya
langsung transaksi. Gak lama kemudian saya mendapatkan Kartu
Her-Registrasi (KHR) dan slip pembayaran UKT di BRI, lengkap dengan
cap biaya UKT dan NIM saya di depan.
NIM
saya yang saya terima saat itu (dan tentunya dipakai sampai sekarang)
adalah ACA 113 069.
Sial, seandainya saya bersabar sedikit aja dan menunggu orang lain
duluan ngambil KHR, mungkin saya bisa dapat nomor 070 atau 077. Lucky
Seven, entah kenapa suka aja sama itu nomor
dari dulu.
Setelah
memberitahukan langkah-langkah selanjutnya, akhirnya Ryan pamit
pulang. Kini saya harus membayar UKT dulu di BRI baru bisa daftar
ulang di loket yang paling awal saya datangi itu. Saya segera
menelepon teman yang memberi tumpangan tempat tinggal ke saya untuk
menjemput. Namanya Ehendra, biasa dipanggil Ehen. Saya pun meminta
untuk diantarkan ke BRI terdekat.
Beruntung,
BRI tersebut cuma 300 meter dari rumah Ehen dan gak terlalu banyak
antrean. Sebentar aja, maka proses pembayaran pun selesai. Slip
ditandatangani petugas lalu diberi cap agar diserahkan kembali ke
loket di BAAK. Karena hari sudah siang dan BAAK akan tutup, terpaksa
saya harus menunggu esok hari supaya bisa daftar ulang.
[Tulisan di
atas ditulis terakhir kali pada Juni 2014. Karena laptop penulis
rusak dari Juni sampai seterusnya. Tulisan di bawah ditulis pada
Maret 2015]
Esoknya
saya balik buat daftar ulang. Wuih, padat banget sampai
berdesak-desakan kayak rebutan sembako gratis. Setelah menyerahkan
semua slip ke setiap loket yang diminta, saya mendapatkan KRS di
loket terakhir dan disuruh mendaftar di fakultas dan prodi.
Saya
udah lupa apa yang saya lakukan seterusnya. Yang pasti, saya mengecek
ke bagian BEM FKIP untuk melihat jadwal ospek. Sesampainya di BEM
FKIP, saya membaca sebuah pengumuman di kertas yang di tempel.
Kegiatan ospek akan dimulai sebentar lagi dan semua peserta disuruh
menggunakan kostum dan membawa benda-benda yang you know what I
mean, right? Setiap peserta diwajibkan hadir di halaman BEM pukul
05.00 WIP untuk mengikuti kegiatan pra-ospek. Iya, WIP. Waktu
Indonesia Panitia.
Ospek
kali ini disebut AKSI Kampus 2013. Aktivitas, Kreativitas, dan
Sosialisasi Kampus FKIP UNPAR. Well, di sinilah semuanya akan
dimulai.
Lalu,
sampai tulisan ini selesai ditulis, pertanyaan: “Ini yang bikin
kampus siapa, sih?” belum juga terjawab. Sampai jumpa di kisah
ospek yang mencekam.
0 komentar:
Posting Komentar
...........................