Kamis, 18 Juli 2013

 7/18/2013 12:41:00 PM         No comments



Past ~ to ~ Present

            Aku kembali terdiam. Kutatap sekelilingku dengan keheningan di hatiku yang dalam. Ramai, sangat ramai suasana di sekitarku. Aku perlahan melangkah masuk ke dalam bagian keberangkatan dalam negeri di bandara seraya menenteng tas kecilku. Pandangan mataku yang sayu kuarahkan pada jam tangan hijauku. Jam 11 siang, masih ada satu jam lagi sebelum keberangkatan. Aku berjalan menuju ke lantai dua melewati kerumunan orang yang memiliki kepentingannya masing-masing.
            Di luar sedang hujan deras. Mungkin penerbanganku akan  ditunda untuk sementara waktu. Itu tidak masalah. Aku berharap lebih baik pesawat yang akan kutumpangi sama sekali tidak jadi untuk terbang saja. Tapi, diam di kota ini seakan-akan tidak ada gunanya bagiku. Aku tetap tidak berhasil mengutarakan perasaanku saat sudah bertemu denganmu.

            Aku mempererat lilitan syal hijau yang ada di leherku untuk sekedar menghangatkan tubuh. Aku terdiam memandang syal hijau ini seraya menaiki elevator yang serasa berjalan terlalu cepat, serasa waktu berjalan cepat, seakan-akan memaksaku untuk cepat-cepat pergi dari kota ini. Hijau, aku ingat kau pernah berkata bahwa warna hijau memang cocok denganku. Jam tangan ini, syal hijau ini, aku ingat senyumanmu saat kau memberikannya kepadaku.
            Ehh!? Aku, aku tersandung. Aku tak sadar bahwa aku sudah sampai di lantai dua. Aku melamun saat menaiki elevator itu. Aku menghela napas seraya membuka tas kecilku dan mengambil sebuah tiket. Kubaca setiap detail tulisan di situ. Waiting room nomor 7. Kuarahkan pandanganku ke atas setiap pintu waiting room. Ya, ruang nomor 7 ada di sebelah sana. Aku diam memandang ruang nomor 7 itu. Masih ada orang, para penumpang pesawat tujuan kota lain. Aku terlalu cepat datang.
            Aku memilih untuk berjalan-jalan mengitari setiap sudut bandara ini. Di sekelilingku, di lantai dua, banyak dijual souvenir untuk oleh-oleh. Aku tidak berminat saat melihatnya. Semua seleraku hilang di saat aku tidak memiliki keberanian menyatakan perasaan saat sudah bertemu denganmu. Aku berbalik, dan aku melihat sebuah toko kecil bandara yang menjual beberapa pakaian dan,. jaket biru polos. Jaket biru? Aku ingat tentang kejadian tiga tahun yang lalu. Saat dimana kau menjadi murid pindahan di sekolahku,.

            Tiga Tahun Yang Lalu...
            Hari ini ada kabar yang langsung jadi topik hangat di seluruh kelas VIII. Ada seorang pemuda pindahan dari Jakarta akan masuk ke SMP ini. Dari Jakarta? Masuk ke Palangka Raya? Aku hanya diam mendengar pembicaraan teman-temanku tentang hal itu saat jam pertama hampir dimulai di kelas.
            Tak lama kemudian seorang guru masuk diikuti oleh seorang pemuda berseragam batik dan memakai jaket biru polos. Semua teman-teman gadisku langsung memandangmu, pemuda yang memang tampan. Aku juga sedikit terpesona saat menatapmu.
            “Perhatian, semuanya. Hari ini kita kedatangan murid baru pindahan dari Jakarta. Namanya Ray Elightfa,” ucap guruku memeperkenalkannya. Kau kemudian tersenyum lembut. “Ah, ya. Kau bisa duduk di kursi paling belakang di sana itu,” ucap guru itu seraya menunjuk kursi kosong yang tepat berada di sebelah kiriku. “Hanya itu kursi kosong yang tersisa dari semua kelas,” terang guru itu.
            “Ya, tidak apa-apa, Pak,” jawabmu seraya tersenyum lalu berjalan perlahan melewati murid-murid perempuan yang tak henti-hentinya memandangmu, termasuk aku. Kau berjalan menuju kursi kosong di kiriku, lalu duduk di situ. Aku mengalihkan pandanganku ke depan.
            “Hari ini bapak akan menghadiri rapat guru, jadi kalian belajar saja dulu sendiri,” ucap guru itu seraya berjalan keluar. Dalam sekejap beberapa murid di kelas ini langsung mendekat kepadamu dan mulai berkenalan. Kau tersenyum saat meladeni mereka hingga akhirnya sebagian besar murisd telah selesai berkenalan dan mulai melakukan kegiatanya masing-masing, baik belajar maupun sekedar mendengar lagu di handphone menggunakan earphone. Aku sendiri hanya diam dan malu untuk berkenalan. Aku lebih memilih membaca buku pelajaran yang ada di mejaku.
            “Lalu, kau sendiri? Siapa namamu?” tiba-tiba kau menyapaku terlebih dahulu dan bertanya seraya memandangku lembut dengan senyuman di bibirmu. Aku sedikit mengibaskan rambut pendekku lalu berpaling.
            “Namaku Reva, Reva Verdiant,” jawabku. Baguslah kalau kau yang mengajak berbicara terlebih dahulu.
            “Hei, salam kenal, ya,” ucapmu lagi seraya menyodorkan tangan kananmu untuk bersalaman. Aku melirik ke arah tanganmu. Aku membalas jabat tangan itu.
            “Salam kenal juga,” ucapku mencoba tersenyum lembut. Aku senang dapat berkenalan denganmu, kau tahu itu?
            Hari demi hari berlalu. Kau sudah akrab dengan teman-teman di kelas ini. Kau dan aku? Masih datar dan biasa-biasa saja. Aku berbeda dengan teman-temanku yang lebih dulu mengambil tindakan. Aku lebih suka bersikap diam dan membaca buku di kursi paling belakang ini. Bahkan hari inipun tetap seperti itu, di jam istirahat pertama. Kau dan yang lainnya mungkin sedang istirahat dan pergi ke kantin. Yang ada di kelas hanyalah aku yang sedang membaca buku dan beberapa murid lainnya.
            “Wah, sepertinya enak sekali bisa duduk dengan Ray,” ucap salah satu temanku tiba-tiba. Aku sedikit terkejut dan mengangkat wajah.
            “Enak kenapa?” tanyaku datar.
            “Kau tahu? Dia itu murid yang pintar. Saat di Jakarta, dia selalu mendapatkan juara umum. Nah, sekarang dia duduk denganmu yang juga selalu menjadi juara umum. Bagaimana selanjutnya, ya?” ucap temanku. Aku diam tidak menanggapinya.
            Tampan, pintar, dan ramah. Kau bisa saja langsung menjadi idola di sekolah ini. Itulah yang ada di pikiranku. Sesaat setelah percakapan singkat itu, temanku itu permisi untuk pergi keluar, mungkin ke kantin. Kali ini aku kembali sendiri.
            Minggu demi minggu berlalu. Perasaanku kepadamu mulai kuat. Aku menyukaimu. Tapi aku tidak sanggup mengutarakannya. Tidak bisakah kau sedikit memberi peluang dan harapan? Kau selalu memberikan senyum yang sama ke setiap orang yang sedang berbicara denganmu, termasuk aku. Membuatku merasa menjadi bukan orang yang spesial di hatimu. Memang bukan.
            Kemudian di suatu hari, di saat kelas sedang kosong, dimana aku sedang belajar untuk persiapan ulangan kenaikan kelas. Kau yang duduk di sebelahku tampak sedang membaca buku pelajaran, belajar dengan wajah datar, tidak terlalu serius atau fokus seperti orang-orang biasanya. Aku mencuri-curi pandang ke arahmu, menatapmu lekat-lekat. Tiba-tiba kau menoleh ke arahku, dan hal itu membuatku terkejut lalu salah tingkah. Tapi kau hanya tersenyum, sama seperti yang sebelum-sebelumnya.
            “Kau mau ikut denganku?” tanyamu seraya menatapku lembut.
            “Ikut? Ikut ke mana?” tanyaku balik, dengan wajah sedikit heran.
            “Mal,” jawabmu singkat. “Ada yang ingin kubeli,” ucapmu lagi. Aku terdiam beberapa saat. Kau mengajakku? Kenapa tiba-tiba? Kita tidak terlalu akrab, kan?
            “Kenapa tidak mengajak teman laki-lakimu saja?” tanyaku dengan pandangan menyelidik.
            “Mereka lebih tertarik tidur di rumah,” jawabmu.
            “Tapi...”
            “Aku tidak akan melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Cukup temani aku saja jalan-jalan,” kau lebih dulu memotong ucapanku seraya menunjukkan wajah mengiba yang dibuat-buat. “Kau tahu? Aku sama sekali belum hafal dengan isi kota ini,” ucapmu lagi. Aku berpikir sesaat sebelum akhirnya mengangguk ragu-ragu.
            “Ya, akan kutemani,” jawabku pelan. “Kapan?” tanyaku.
            “Pulang sekolah,” jawabmu yakin.
            Akhirnya, setelah pulang sekolah aku menelepon orang tuaku untuk memberitahu kalau aku sedang pergi bersama teman-teman dan meminta supir pribadiku untuk tidak menjemputku. Tentu saja aku tidak mengatakan kalau aku hanya berjalan berdua dengan seorang pemuda yang bahkan tidak terlalu ‘kukenal’ meskipun satu kelas di sekolah.
            Pulang sekolah aku agak menjauhi teman-temanku. Agak berbahaya jika mereka tahu aku berjalan berdua denganmu. Bisa-bisa gosip tidak jelas akan beredar di sekolah ini.
             Awalnya aku menduga kita akan naik taksi, tapi ternyata kau memiliki mobil dan supir pribadi. Sudah empat bulan kau sekolah di sini, tapi aku baru menyadarinya. Begitu tak akrabkah kita? Atau aku terlalu menutup diri dalam berteman denganmu?
            Duduk di mobil yang cukup mewah memang menyenangkan. Tapi yang membuat istimewa adalah karena kita duduk berdampingan di kursi belakang. Aku gugup, tapi kau malah asyik melihat keluar jendela memandang gedung-gedung dan toko besar saat mobil melaju perlahan di jalan raya.
            “Bukankah di Jakarta banyak gedung-gedung besar?” tanyaku. Kau berbalik.
            “Aku jarang keluar rumah. Aku lebih suka belajar atau sekadar membaca buku cerita,” terangmu. “Yah, itu lebih baik daripada membuang waktu hidup delapan belas jam seminggu hanya untuk tidur,” tambahmu lagi. Aku hanya mengangguk mengerti. Kau pribadi yang unik rupanya.
            “Maaf, pekerjaan ayahmu apa?” tanyaku. Tidak enak bertanya seperti ini, tapi melihatmu memiliki mobil mewah ini, yang lebih mewah daripada milikku, membuatku jadi penasaran.
            “Hmm, dia bekerja mengawasi puluhan tempat dagangnya yang tersebar di Indonesia ini,” ucapmu seraya tersenyum. “Di mana ada tempat dagang yang perlu penanganan, ayahku turun tangan khusus mengawasinya.”
            Tempat dagang. Tak perlu bertanya lagi. Kau memang anak orang kaya. Tempat dagang menurutmu itu tentu saja adalah mal, swalayan, toko, dan lain-lain.
            “Tuan, tujuan kita ini sebenarnya ke mana?” tanya supirmu tiba-tiba. Kau menoleh saat mendengar pertanyaan itu.
            “Astaga, bahkan akupun tidak tahu mau ke mana,” jawabmu sambil menepuk jidat. “Oh, ya, itulah alasanku membawamu,” ucapmu seraya menatapku. Aku tersenyum.
            “Biar kutunjukkan jalannya,” ucapku.
□□□
            Setelah sampai di salah satu mal besar di kota ini, kau langsung melompat turun dan melihat-lihat mal yang tinggi itu sampai ke puncaknya. Akupun turun dan melihatmu.
            “Kenapa? Tentu saja masih lebih besar Blok M, kan?” ucapku. Kau tertawa. “Jangan-jangan ini juga milik ayahmu?” tanyaku.
            “Bukan,” jawabmu tersenyum. “Empat bulan aku di kota ini, tapi baru pertama kalinya aku ke tempat ini,” tambahmu.
            Setelah meminta supir menunggu, kau bergegas masuk seraya menarik tanganku. Membuatku sedikit gugup karena bersamamu.
            Di dalam mall yang ramai ini aku lebih bersikap pasif. Wajar saja, aku juga jarang masuk ke sini, kau tahu? Kita berkeliling mengitari bagian aksesoris. Aku sedikit gelisah melihat orang-orang yang menatap kita yang seperti anak sekolah baru pulang lalu belanja bersama layaknya seorang kekasih. Mirip, mirip seperti itu. Kecuali bagian yang terakhir. Karena kita bukan sepasang kekasih.
            “Kau sebenarnya mencari apa?” tanyaku penasaran saat melihatmu sedang mengamati deretan jam tangan.
            “Jam tangan,” jawabmu.
            Tak lama kemudian kau mengambil sebuah jam tangan biru. Kau mengamati jam itu sesaat sebelum akhirnya membelinya. Biru? Jaketmu biru, mobilmu juga biru.
            “Kau suka warna biru?” tanyaku padamu. Kau mengangguk seraya berjalan di sebelahku.
            Kali ini kau mengajakku berjalan ke bagian lain. Kau hanya menebak-nebak arah, tapi ternyata tujuanmu tepat. Bagian penjualan buku.
            “Pilihlah satu buku yang kau suka. Tenang saja, aku yang akan bayar,” ucapmu seraya tersenyum sambil berjalan ke bagian komik. Aku diam.
            Hei, aku tidak hafal tempat ini! Aku berlari kecil mendekatimu lalu menarik ujung belakang jaket birumu. Kau sedikit terkejut dan berbalik lalu memandangku.
            “Tunggu! Kita cari sama-sama!” ucapku. Kau mengangguk lalu berjalan perlahan dan diikuti olehku.
            Aku hanya melihat tingkahmu yang memilih-milih beberapa komik remaja di antara kerumunan orang. Seukuran anak SMP, minat bacamu tinggi juga. Empat belas komik kau beli. Setelah membayarnya, kau menitipnya di kasir, lalu berjalan menemaniku membeli buku untukku sendiri.
            Buku yang kusukai? Novel. Novel fantasi yang tidak bertele-tele. Tidak bersambung, satu buku langsung tamat. Mudah saja menemukan novel seperti itu. Seperti janjimu, kau yang membayarnya. Setelah selesai membayarnya, kau mengambil titipan komikmu lalu berjalan keluar bersamaku.
            Setelah masuk kembali ke dalam mobil, kau mengantarku pulang. Rumahku cukup jauh dari tempat ini. Sepanjang perjalanan kau terus membaca komik yang kau beli sambil sesekali berbicara denganku. Jika sudah berbicara, aku hanya berbicara sedikit karena belum terlalu akrab denganmu.
            Hari sudah sore ketika kita sampai di rumahku. Kau tersenyum mengamati rumahku dari jendela mobil saat aku sudah keluar dari mobil dan berdiri di pagar depang rumahku.
            “Kenapa?” tanyaku heran karena melihat senyummu. “Rumahku tentu tak sebesar rumahmu,” ucapku lagi.
            “Bukan, bukan masalah itu,” ucapmu seraya memandangku. “Paling tidak, aku menjadi tahu di mana rumahmu. Siapa tahu saja suatu saat aku berkunjung, kan?” tambahmu lagi.
            Setelah itu kau tersenyum lalu pamit pulang. Mobilmu tetap kupandang saat sudah lewat di tikungan di ujung jalan sana. Aku lalu berbalik dan membuka pagar untuk masuk. Rasanya cukup lelah juga seharian berjalan-jalan denganmu. Pagar ini terasa berat untuk ditutup kembali.
            Saat aku tengah menutup pagar, tiba-tiba mobilmu kembali. Dan kepalamu menyembul keluar dari jendela. Aku tentu sangat bingung.
            “Ada apa?” tanyaku heran.
            “Nomor handphone milikmu. Aku lupa minta nomor handphone-mu!” ucapmu. Aku terdiam. Kau meminta nomor handphone milikku?
            “Untuk apa kau memintanya?” tanyaku penuh selidik.
            “Mungkin... ah, siapa tahu saja aku ada perlu denganmu,” jawabmu. Ekspresimu sedikit ragu. Seperti ada yang kau sembunyikan. Tapi, berhubung aku menyukaimu, apa salahnya?
            Aku kemudian mengucapkan nomor handphone milikku dari balik pagar yang terlanjur kututup dan kau mengetiknya di handphone milikmu. Kau tersenyum.
            “Terima kasih,” ucapmu seraya menyimpan handphone milikmu kembali. Aku mengangguk. Untuk kedua kalinya kau pamit pulang. Aku merasa sangat senang hari ini, apa kau tahu itu?
            Malam harinya, saat aku beranjak tidur, aku masih sempat membayangkan dirimu dan tentang kebersamaan kita sesaat siang tadi. Novel yang kubeli tadi baru saja kubaca, tapi belum seluruhnya. Ada satu hal yang kupikirkan. Kenapa aku? Kenapa harus aku yang kau ajak untuk menemanimu? Kita tidak terlalu akrab. Teman-temanku yang lain malah lebih akrab denganmu ketimbang aku. Kau juga meminta nomor HPku. Kau menyukaiku? Tapi, kau seperti bersikap biasa-biiasa saja. Sikapmu sama seperti menghadapi gadis-gadis lainnya. Tidak ada perlakuan sikap khusus terhadapku. Malam  ini aku tertidur dengan banyak tanda tanya.
            Besoknya, kujalani hari-hari seperti biasa. Sikapmu kembali seperti biasanya, aku tidak diperlakukan khusus olehmu. Hari demi hari tetap tidak ada SMS yang masuk darimu. Jadi, untuk apa kau meminta nomor handphone milikku?
            Bulan demi bulan pun berlalu. Kita sekarang sudah naik ke kelas IX dan sudah masuk ke semester kedua. Tidak perlu dipertanyakan lagi, kaulah yang menyabet gelar juara umum. Aku? Aku puas dapat nomor dua, di bawahmu. Puas karena aku sekarang sudah akrab denganmu.
            Di kelas IX ini kita kembali duduk semeja di bagian belakang atas usul wali kelas. Alasannya agar murid yang lain bisa duduk di depan dan tidak mengincar kita berdua sebagai sasaran menyontek.
            Suatu hari, saat pelajaran di kelas sedang kosong, aku memberanikan diri untuk berbicara topik yang tidak umum kepadamu. Ya, topik tentang dirimu. Sesuatu yang membuatku penasaran sejak kenal denganmu.
            “Namamu terdengar aneh. Apa mengandung arti khusus?” ucapku bertanya tanpa basa-basi saat kau sedang diam membaca buku. Kau menoleh ke arahku.
            “Apa nama ‘Ray’ memang terdengar aneh?” tanyamu kemudian.
            “Sedikit,” ucapku. “Tapi ‘Elightfa’ masih lebih aneh. Cahaya? Sinar? Kenapa begitu?” tanyaku penasaran karena dalam namanya ada kata ‘light’. Kau berpikir sesaat.
            “Ibuku menyukai sesuatu yang berhubungan dengan cahaya,” ucapmu singkat. Aku terdiam dan menunjukkan ekspresi belum puas. Kau mengerti apa mauku. “Ibuku mungkin ingin aku menjadi cahaya dari sinar yang menerangi kegelapan,” ucapmu lagi berspekulasi. Aku memiringkan sedikit kepalaku. Makna yang aneh, pikirku. “Terdengar seperti fantasi, ya,” tambahmu lagi seraya tertawa kecil.
            Itulah yang terus kita lakukan. Melakukan pembicaraan kecil. Pembicaraan kecil yang membuat kita saling mengenal satu sama lain. Aku jadi tahu kalau kau memiliki seorang adik perempuan, yang kadang-kadang kulihat ikut menjemputmu pulang sekolah bersama supirmu. Aku juga menjadi tahu kalau kau bergitu terobsesi dengan warna biru, warna yang kuanggap adalah kelembutan.
            Aku berpikir semua akan berjalan seperti ini terus. Aku berharap dapat mengungkapkan perasaanku ini terhadapmu. Tapi kau belum juga memberikan sinyal perhatian khusus. Membuatku ragu apakah kau juga menyimpan perasaan yang sama terhadapku.
            Bulan demi bulan kembali berlalu lagi. Tak terasa ujian nasional sudah di depan mata. Apa yang kutakutkan telah hampir menjadi kenyataan.
            “Jadi, kau akan melanjutkan sekolah di mana?” ucapmu bertanya. Pertanyaan itu seolah-olah menyadarkanku bahwa kita akan berpisah. Aku berpikir sesaat.
            “Mungkin.. ke Sampit?” jawabku ragu seraya menutup buku pelajaran yang baru selesai kubaca.
            “Sampit? Aku rasanya pernah mendengar nama kota itu. Kota itu ada di mana?” tanyamu kemudian.
            “Dari kota ini, sekitar lima jam perjalanan menggunakan mobil,” jawabku. Aku kemudian menjelaskan letak kota itu kepadamu. Kau kemudian mengangguk mengerti.
            “Kenapa kau memilih sekolah di sana?” tanyamu.
            “Aku ikut orang tuaku yang pindah berkerja di sana,” jawabku. “Kau sendiri di mana?” tanyaku balik, mengubah arah pembicaraan.
            “Surabaya. Sama denganmu, aku ikut orang tuaku juga pindah,” jawabmu yakin. Surabaya!? Yang benar saja? Kita akan terpisah jauh. Aku kemudian langsung tertunduk lesu, kecewa.
            Untuk beberapa saat kita terdiam. Kau kembali membaca bukumu, begitu juga aku. Kita terus terdiam hingga jam pelajaran ini selesai.
            Akhirnya ujian nasional pun tiba. Semua soal yang kuhadapi terasa hambar dan mudah begitu saja. Entah kenapa kita tiba-tiba jarang berbicara bersama. Begitulah seterusnya hingga pengumuman kelulusan. Kita berdua lulus dengan nilai memuaskan dan NEM sama persis. Astaga, padahal aku sama sekali belum mengungkapkan perasaanku terhadapmu!
            Beberapa hari setelah kelulusan, aku pergi ke Sampit untuk mengambil formulir pendaftaran masuk ke salah satu sekolah di situ. Kita belum berbicara sejak terakhir bertemu saat pengumuman kelulusan itu. Hingga pada suatu hari saat aku kembali ke Palangkara Raya untuk berkemas persiapan pindah, kau mendatangi rumahku dan mengajakku keluar. Aku diam dan tertunduk, tapi aku tetap mengikutimu.
            Sepanjang perjalanan di dalam mobil, kau hanya berbicara sedikit. Tapi senyummu tetap seperti yang biasa kulihat. Aku tidak memperhatikan tujuan mobil ini ke mana, dan saat aku sadar, kita sudah ada di bandara! Aku benar-benar terkejut.
            “Jangan-jangan kau..” ucapku saat sedang berdiri berdua denganmu di bagian luar bandara.
            “Aku berangkat ke Surabaya hari ini,” jawabmu seraya berusaha tersenyum.
            “Oh,” ucapku singkat. “Lalu, kenapa kau mengajakku?” tanyaku.
            “Ada yang ingin kuberikan untuk orang yang sudah duduk satu setengah tahun semeja bersamaku di sekolah,” ucapmu.
            “Apa?” ucapku bingung dan penasaran. Kau kemudian mengeluarakan sesuatu dari balik kantongmu. Ternyata sebuah jam tangan hijau dan syal kain yang juga berwarna hijau.
            “Untukmu,” ucapmu seraya menyodorkan kedua benda itu sambil tersenyum. “Beberapa hari yang lalu aku berjalan sendiri ke mal. Aku bingung ingin membeli apa, jadinya aku hanya beli itu saja,” terangmu. Aku diam beberapa saat seraya mengambil benda itu dari tanganmu. Aku merasa syal itu begitu lembut.
            “Hei, kenapa kau tahu aku menyukai warna hijau? Aku belum pernah mengatakannya, kan?” tanyaku seraya sedikit tersipu.
            “Dari namamu. Verdiant, tanpa huruf ‘i’,” jawabmu singkat. Jadi kau menyadarinya juga, ya. “Ada yang ingin aku katakan,” ucapmu lagi.
            “Katakanlah,” jawabku. Aku berniat ingin mengungkapkan perasaanku sekarang juga setelah kau selesai berbicara. Ini saat terakhir bisa melihatmu sebelum kita berpisah jauh!
            “Aku, aku sebenarnya...” kau diam sesaat, menghentikan kata-katamu. Apa yang ingin kau katakan? Kau terlihat diam memikirkan kata-kata, berusaha merangkai kata. “Aku...”
            “Tuan, pesawatnya akan segera berangkat,” tiba-tiba suara supirmu memotong ucapanmu. Aku dan kau menoleh. Kulihat kau mengangguk mengerti.
            “Reva, maaf, aku harus segera berangkat,” ucapmu. “Supirku akan mengantarmu pulang,” ucapmu seraya langsung berbalik dan bergegas masuk ke dalam.
            Hingga masuk ke dalam bandara, tak sedikit pun kau berpaling untuk melihatku. Aku ingin memanggilmu dan mengungkapkan perasaan ini. Tapi aku tak sanggup dan tak memiliki keberanian. Itulah terakhir kalinya aku melihatmu. Aku hanya diam menitikkan sedikit air mata di mobilmu yang tengah melaju seraya menatap sebuah pesawat yang sedang terbang dari bandara. Aku tahu, kau ada di dalamnya. Aku perlahan menyandarakan punggungku di kursi belakang ini seraya menerawang jauh.
            “Nona,” supirmu menyapaku seraya menatapku dari kaca dashboard. Aku menatap balik melalui kaca itu.
            “Ya?” ucapku seraya mengusap mataku yang basah karena air mata.
            “Anda tahu? Anda adalah teman perempuan tuan Ray pertama yang diajak naik ke mobil ini,” terang supir itu. Aku terdiam sesaat. Aku yang pertama?
            “Benarkah?” tanyaku dengan nada tak percaya.
            “Ya, dan sepertinya dia menyukai anda,” ucap supir itu lagi.
            Aku sedikit terkejut mendengar hal itu. Tapi aku hanya diam dan menundukkan kepala. Bodoh, kau terlambat mengungkapkannya, Ray! Kugenggam erat syal hijau itu dan kupasang jam tangan hijau itu di pergelangan tangan kiriku lalu aku mencoba untuk tersenyum.

□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□

            Tahun demi tahun berganti. Tak terasa sudah 2,5 tahun berlalu sejak pertemuan pertama kita di SMP, dan sudah satu tahun berlalu sejak pertemuan terakhir kita di bandara. Kini aku baru saja duduk di kelas XI di sebuah SMA di kota Sampit ini. Hari-hari yang kujalani terasa datar dan hambar sejak berpisah denganmu. Di sekolah inipun aku tidak menemukan seorang pemuda yang bisa kusukai melebihi rasa sukaku terhadapmu. Kau tahu? Rambut pendekku kini sudah kupanjangkan hingga sampai ke pundakku. Syal hijau dan jam tangan hijaumu tetap terus kupakai selama ini, untuk tetap sebagai pengingat tentang dirimu.
            Hari-hari yang kujalani di sekolahku datar-datar saja. Sangat berbeda saat bersama denganmu dulu. Hingga kinipun kau tidak pernah menelepon atau mengirim SMS kepadaku. Apa gunanya kau meminta nomor handphone milikku, Ray? Dan aku bergitu bodohnya tidak meminta nomor handphone milikmu saat masih bersamamu.  Awalnya kupikir semua akan tetap berjalan begitu datar saja, hingga pada suatu hari di kelasku kedatangan murid baru, murid perempuan.
            Murid baru? Itu hal yang biasa. Tapi murid baru itu ternyata adalah teman SMP-ku dulu, saat masih di Palangka Raya. Kami sama-sama terkejut saat mengetahui bahwa kami bisa bertemu lagi. Kamipun mulai saling berbincang mengingat masa lalu. Yah, paling tidak ada yang bisa dibahas di kehidupanku bersamanya.
            Beberapa bulan kemudian, pada suatu hari dia bercerita tentang teman-teman lama kami. Rupanya rata-rata temanku dulu sebagian besar melanjutkan sekolah di Palangka Raya dan pulau Jawa. Menarik, karena aku dan dia yang bisa terlempar ke kota ini.
            “Ray bersekolah di Surabaya,” ucapnya tiba-tiba saat kami sedang berdua di dalam kelas. Aku menoleh kepadanya.
            “Eh? Ya, aku tahu itu,” jawabku. “Kau tahu dari mana?” tanyaku padanya.
            “Aku bertemu dengannya saat liburan kemarin,” jawabnya. “Aku sempat berkunjung ke rumahnya untuk sekadar jalan-jalan,”
            Aku terdiam beberapa saat mendengar ucapannya.
            “Kau.. kau tahu alamat rumahnya??” tanyaku. Dia mengangguk lalu memberitahu alamat rumahmu.
            Malam harinya, saat aku sedang tidur-tiduran di kamarku, aku memandang secarik kertas berisi alamat rumahmu yang ada di Surabaya. Apa aku harus nekat menyusulmu ke sana? Ya! Aku harus menyusulmu!
            Beberapa minggu kemudian, saat sekolah kami sedang libur karena persiapan ulangan umum, aku berencana pergi ke Surabaya. Dengan modal nekat dan uang tabunganku yang banyak, ditambah dengan alamat rumahmu di secarik kertas, aku melangkah masuk ke dalam bandara Sampit. Aku pergi dan mengatakan akan bermalam di rumah teman, itulah yang kuucapkan kepada orang tuaku.
            Aku diam menunggu di dalam waiting room bandara Sampit ini, menunggu kedatangan pesawat bersama calon penumpang lainnya. Sesekali aku berpikir apakah keputusanku ini sudah tepat? Menyebrangi pulau untuk bertemu denganmu? Bagaimana jika aku tidak bertemu denganmu? Huh, pikiran negatif yang memuakkan.
            Tak terasa pesawat yang akan aku tumpangi telah tiba. Setelah penumpang senelumnya turun, aku dan penumpang yang ada di waiting room pun masuk ke dalam pesawat. Di dalam pesawat aku duduk paling belakang, tempat yang sepi karena banyak kursi yang kosong. Mungkin karena aku membeli tiket beberapa jam sebelum keberangkatan dan penumpang tujuan Surabaya dari Sampit memang jarang.
            Saat tengah duduk, kupejamkan mata sambil menyempatkan diri melirik ke jam tangan hijauku. Masih jam delapan pagi. Aku kemudian tertidur.

□□□

            Aku terbangun. Kulihat sekelilingku, terasa sepi. Yang ada hanyalah seorang pramugari yang tengah berdiri di sebelahku.
            “Nona, kita sudah sampai,” ucap pramugari itu seraya tersenyum.
            Aku mengusap wajahku dan melirik ke jam tanganku. Sudah jam sembilan pagi. Aku kemudian berdiri dan mengambil tas gendongku lalu berjalan keluar dari dalam pesawat. Perjalanan satu jam bisa membuatku tertidur?
            Setelah keluar dari pesawat, suasananya berubah menjadi riuh. Para calon penumpang banyak terlihat di seluruh bagian bandara Djuanda ini. Aku sudah pernah ke bandara ini, jadi aku sudah hafal segala bagiannya. Aku langsung berjalan menuju pintu keluar dan segera mendatangi taksi bandara.
            Kutunjukkan alamat rumahmu lalu setelah membayar, aku mendapatkan tiket. Aku langsung berjalan menuju taksi bandara yang sudah menunggu di depan, aku masuk dan langsung menyerahkan tiket yang sudah berisi alamat tujuan itu. Taksi itu kemudian melaju perlahan menjauh dari bandara.
            “Ke rumah keluarga, ya, nona?” tanya supir taksi itu padaku saat mobil tengah melaju cepat di jalan tol. Aku menggeleng. “Lalu ke rumah siapa?”
            “Teman.. teman lama,” jawabku. Supir itu mengangguk-angguk.
            “Hoo, jarang sekali ada penumpang yang minta diantar ke alamat itu,” komentar supir itu. Aku hanya diam mendengar ucapan supir itu
            Aku diam menikmati setiap pemandangan gedung-gedung tinggi yang ada di dalam kota ini. Berbeda sekali dengan Sampit yang masih cukup banyak ditumbuhi pepohonan hijau, tempat untuk berteduh dan merasakan hembusan sejuk angin. Tanpa aku sadari taksi yang kutumpangi sudah masuk ke dalam sebuah kompleks perumahan yang berisi rumah-rumah mewah. Sangat mewah!
            Taksi itupun berhenti di depan sebuah rumah bernomor 17.
            “Ini alamat tujuan anda, nona,” ucap supir itu seraya tersenyum. Aku mengangguk lalu turun dari taksi itu. Setelah aku turun, taksi itu melaju perlahan keluar dari kompleks perumahan ini.
            Aku terdiam melihat rumah bernomor 17 ini. Rumahmu, itulah yang kutahu dari temanku dan dari alamat yang kupegang. Aku berdiri mematung di halaman depan rumah itu. Aku tidak salah alamat, kan? Aku bingung apa yang akan kulakukan jika ini benar rumahmu. Datang jauh-jauh dari Sampit menuju ke Surabaya untuk menyatakan cinta? Alasan yang bisa membuatku ditertawakan oleh seisi sekolahku. Masa bodoh.
            Aku berjalan masuk mendekat ke arah pintu depan rumah itu. Saat telah berdiri tepat di depan rumah itu, aku menarik napas panjang untuk menghilangkan kegugupanku. Saat aku hendak menekan bel, tiba-tiba aku melihat seseorang tengah berlari-lari kecil di dalam, di ruang tamu itu, lalu disusul oleh seorang gadis. Orang itu adalah kau! Dan gadis itu... siapa gadis itu?
            Kau langsung duduk di atas sofa, lalu gadis itu duduk di pahamu, kau memeluknya dari belakang, bercanda bersamanya. Kalian tertawa bersama. Tak kurasa air mataku meleleh. Kau kemudian mengalihkan pandanganmu keluar. Kau menyadari keberadaanku, lalu senyummu berubah menjadi ekspresi keterkejutan. Aku langsung sedikit menangis dan berlari menjauh.
            Aku segera berlari keluar dari kompleks perumahan itu dan memanggil taksi yang kebetulan lewat di jalan raya.
            “Ke bandara, Pak!” ucapku sambil menangis. Tanpa banyak tanya supir itu segera mengemudikan mobilnya.
            Rasanya perasaanku hancur saat melihatmu bersama gadis lain. Aku benar-benar terlambat menyatakan perasaanku. Sepanjang perjalanan air mataku tak henti-hentinya mengalir. Hingga akhirnya taksi itu telah sampai di depan bandara. Setelah membayar, aku turun dari dalam taksi dan berjalan ke depan bandara bagian penjualan tiket.
            Aku segera meminta tiket pesawat dengan jadwal terbang tercepat yang ada dari kasir. Setelah membayar tiket dan mendapatkan tiket, aku berjalan-jalan sesaat di luar bandara itu. Kulirik jam tanganku. Masih jam 10:30...

            Sekarang...
            Aku memalingkan wajahku setelah melihat jaket biru polos itu. Tak lama kemudian ada pemberitahuan bahwa penumpang tujuan kota Sampit diharapkan untuk masuk ke dalam waiting room. Aku menarik napas panjang lalu berjalan masuk ke dalam waiting room itu. Tampak penumpang dengan tujuan Sampit sangat sedikit hari ini. Aku memilih duduk di kursi bagian tengah ruangan seraya memandang keluar kaca bagian belakang, memandang beberapa pesawat yang sedang terpakir maupun yang bersiap lepas landas.
            Hebat, jauh-jauh pergi ke kota pahlawan ini hanya untuk mendapatkan kekecewaan. Aku kemudian menunduk dengan wajah sedih. Ingin rasanya aku merobek syal hijau ini, atau membanting jam tangan hijau ini. Cukup lama aku tertunduk hingga tak sadar pesawat yang akan kutumpangi telah datang dan sedang mengisi bahan bakar. Aku sebentar lagi akan pergi dari kota ini.
            Kubuka tas kecilku untuk mengambil HP. Ternyata sejak sampai di kota ini tadi pagi, aku sama sekali belum menyalakan HPku. Saat kunyalakan, tiga SMS beruntun masuk. Astaga! Itu SMS darimu!
            “Reva!? Apa itu kau??”
            “Hei! Reva! Kau ke mana??”
            “Kau di mana?? Aku ingin bicara denganmu!”
            Itulah tiga SMS yang masuk darimu. Tiba-tiba sebuah ada panggilan masuk. Panggilan masuk darimu! Aku terkejut. Ini pertama kalinya kau mengirim pesan dan... meneleponku!
            “...halo,” ucapku lirih.
            “Reva. Astaga, aku tidak menyangka kau ada di kota ini,” ucapmu di ujung sana. Suaramu terdengar berat dan kelelahan. “Lihatlah ke jendela besar!” perintahmu. Aku menoleh.
            Di situ, di luar waiting room, dilihat dari dinding yang terbuat dari kaca, aku dapat melihatmu terengah-engah seraya menggenggam HPmu, berbicara denganku dengan senyum kelelahan. Aku bisa melihatmu dengan jelas. Penampilanmu tidak banyak berubah dari dulu, tapi rambutmu sedikit lebih panjang. Keringat tampak merembes keluar dari jaket birumu. Kau pasti melesat cepat menuju bandara ini untuk menyusulku.
            “Kau, kenapa menyusulku?” tanyaku seraya sedikit menitikkan air mata.
            “Pertanyaan bodoh. Aku menyusulmu karena..” kau menghentikan napasmu seraya menarik napas. “..karena aku mencintaimu!” ucapmu tegas. Kau, kau mengatakannya.
            “Lalu siapa gadis itu tadi? Yang bercanda denganmu sampai berpelukan?” tanyaku dengan air mata yang semakin meleleh antara terharu dan sedih.
            “Kau lupa dengan adikku yang dulu sering ikut menjemputku pulang sekolah??” ucapmu dengan ekspresi tak percaya. Aku langsung tersadar. Bodoh, aku lupa jika itu adiknya. Tiba-tiba terdengar pemberitahuan bahwa penumpang tujuan Sampit untuk segera masuk ke dalam pesawat. Aku terdiam beberapa saat.
            “Begitu, ya,” ucapku lirih padamu melalui telepon. Penumpang di sekitarku segera berjalan menuju pesawat, hanya aku yang tersisa di waiting room.
            “Apa jawabanmu??” tanyamu seraya terengah-engah dan merapatkan diri ke dinding kaca itu. Aku mengangkat wajah dan memandangmu.
            “Seharusnya kau mengatakan hal ini beberapa tahun yang lalu, saat kita masih bersama, Ray,” jawabku. Wajahmu tampak berubah cemas.
            “Aku tahu, tapi aku terlalu pengecut untuk mengatakannya,” ucapmu seraya mengepalkan tangan. “Aku..”
            “Masih ada harapan,” potongku. “Kau ingin jawaban? Datanglah kepadaku. Jangan telepon atau mengirim pesan kepadaku, jika kau ingin jawaban dariku. Kau harus bertemu langsung denganku,” tantangku. Ekspresi wajahmu langsung berubah cerah, kau tersenyum. “Kapan-kapan berkunjunglah ke Sampit,” ucapku.
            “Sampit?? Itu.. ng? A.. aku akan menyusulmu!!” ucapmu seraya tersenyum lebar, tanda kepuasan. Tapi ekspresi wajahmu tiba-tiba menjadi bingung sendiri. Atau jangan-jangan kau salah menebak sekolahku?
            Aku langsung memutuskan hubungan telepon itu tanpa berkata apa-apa. Aku berjalan menuju ke pesawat. Aku menoleh sesaat, kulihat kau berkata sesuatu. Aku tidak bisa mendengar suaramu karena terhalang oleh dinding kaca itu, tapi aku dapat membacanya dari bibirmu.
            “Aku pasti datang!!” itulah yang pasti kau ucapkan dari gerakan bibirmu.
            Akhirnya aku kembali duduk di pesawat yang sama seperti yang kutumpangi tadi pagi. Pesawat ini lepas landas dengan mulus. Aku tersenyum lembut mengingat semua kejadian itu.
            “Bodoh, kau seharusnya mengatakan itu saat kita masih bersama, Ray. Aku menunggumu. Kau pasti sangat bodoh jika tidak datang,” gumamku seraya memandang keluar dari jendela, melihat ke bandara itu saat pesawat sedang berbelok di udara setelah lepas landas.
            Di bawah sana, di depan bandara, aku dapat melihat seseorang yang memakai jaket biru tengah berdiri dan sepertinya memandang ke arah pesawat ini lalu melambaikan tangannya sesaat. Aku tersenyum lalu menyandarkan kepalaku ke kursi dan memejamkan mata untuk sekedar tidur sesaat.
            “Aku percaya kau pasti datang,” ucapku pelan. “Itupun jika kau tidak masuk kota yang salah, Ray.”
□□□
©2012 by Hikaru Xifos, Past ~ to ~ Present


0 komentar:

Posting Komentar

...........................

Popular Posts

Recent Posts

Click to view my Personality Profile page

Unordered List

"Nilai gak penting, pengetahuan dan wawasan itu yang penting."

Categories

Text Widget

Me.....

Foto saya
Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia
Seorang mahasiswa Pendidikan Matematika yang berusaha untuk menyelamatkan umat manusia dari serangan alien hingga akhirnya sebuah meteor jatuh ke ladang gandum dan jadilah sebuah sereal seperti iklan di televisi.

Followers.....