Past ~ to ~ Present
Aku kembali terdiam. Kutatap
sekelilingku dengan keheningan di hatiku yang dalam. Ramai, sangat ramai
suasana di sekitarku. Aku perlahan melangkah masuk ke dalam bagian
keberangkatan dalam negeri di bandara seraya menenteng tas kecilku. Pandangan
mataku yang sayu kuarahkan pada jam tangan hijauku. Jam 11 siang, masih ada
satu jam lagi sebelum keberangkatan. Aku berjalan menuju ke lantai dua melewati
kerumunan orang yang memiliki kepentingannya masing-masing.
Di luar sedang hujan deras. Mungkin
penerbanganku akan ditunda untuk
sementara waktu. Itu tidak masalah. Aku berharap lebih baik pesawat yang akan
kutumpangi sama sekali tidak jadi untuk terbang saja. Tapi, diam di kota ini
seakan-akan tidak ada gunanya bagiku. Aku tetap tidak berhasil mengutarakan
perasaanku saat sudah bertemu denganmu.
Aku mempererat lilitan syal hijau
yang ada di leherku untuk sekedar menghangatkan tubuh. Aku terdiam memandang
syal hijau ini seraya menaiki elevator
yang serasa berjalan terlalu cepat, serasa waktu berjalan cepat, seakan-akan memaksaku
untuk cepat-cepat pergi dari kota ini. Hijau, aku ingat kau pernah berkata
bahwa warna hijau memang cocok denganku. Jam tangan ini, syal hijau ini, aku
ingat senyumanmu saat kau memberikannya kepadaku.
Ehh!? Aku, aku tersandung. Aku tak
sadar bahwa aku sudah sampai di lantai dua. Aku melamun saat menaiki elevator itu. Aku menghela napas seraya membuka tas kecilku dan
mengambil sebuah tiket. Kubaca setiap detail tulisan di situ. Waiting room nomor 7. Kuarahkan pandanganku
ke atas setiap pintu waiting room.
Ya, ruang nomor 7 ada di sebelah sana. Aku diam memandang ruang nomor 7 itu.
Masih ada orang, para penumpang pesawat tujuan kota lain. Aku terlalu cepat
datang.
Aku memilih untuk berjalan-jalan
mengitari setiap sudut bandara ini. Di sekelilingku, di lantai dua, banyak
dijual souvenir untuk oleh-oleh. Aku
tidak berminat saat melihatnya. Semua seleraku hilang di saat aku tidak
memiliki keberanian menyatakan perasaan saat sudah bertemu denganmu. Aku
berbalik, dan aku melihat sebuah toko kecil bandara yang menjual beberapa
pakaian dan,. jaket biru polos. Jaket biru? Aku ingat tentang kejadian tiga
tahun yang lalu. Saat dimana kau menjadi murid pindahan di sekolahku,.
Tiga
Tahun Yang Lalu...
Hari ini ada kabar yang langsung
jadi topik hangat di seluruh kelas VIII. Ada seorang pemuda pindahan dari
Jakarta akan masuk ke SMP ini. Dari Jakarta? Masuk ke Palangka Raya? Aku hanya
diam mendengar pembicaraan teman-temanku tentang hal itu saat jam pertama
hampir dimulai di kelas.
Tak lama kemudian seorang guru masuk
diikuti oleh seorang pemuda berseragam batik dan memakai jaket biru polos.
Semua teman-teman gadisku langsung memandangmu, pemuda yang memang tampan. Aku
juga sedikit terpesona saat menatapmu.
“Perhatian, semuanya. Hari ini kita
kedatangan murid baru pindahan dari Jakarta. Namanya Ray Elightfa,” ucap guruku memeperkenalkannya. Kau kemudian
tersenyum lembut. “Ah, ya. Kau bisa duduk di kursi paling belakang di sana itu,”
ucap guru itu seraya menunjuk kursi kosong yang tepat berada di sebelah kiriku.
“Hanya itu kursi kosong yang tersisa dari semua kelas,” terang guru itu.
“Ya, tidak apa-apa, Pak,” jawabmu
seraya tersenyum lalu berjalan perlahan melewati murid-murid perempuan yang tak
henti-hentinya memandangmu, termasuk aku. Kau berjalan menuju kursi kosong di
kiriku, lalu duduk di situ. Aku mengalihkan pandanganku ke depan.
“Hari ini bapak akan menghadiri
rapat guru, jadi kalian belajar saja dulu sendiri,” ucap guru itu seraya
berjalan keluar. Dalam sekejap beberapa murid di kelas ini langsung mendekat
kepadamu dan mulai berkenalan. Kau tersenyum saat meladeni mereka hingga
akhirnya sebagian besar murisd telah selesai berkenalan dan mulai melakukan
kegiatanya masing-masing, baik belajar maupun sekedar mendengar lagu di handphone menggunakan earphone. Aku sendiri hanya diam dan
malu untuk berkenalan. Aku lebih memilih membaca buku pelajaran yang ada di
mejaku.
“Lalu, kau sendiri? Siapa namamu?”
tiba-tiba kau menyapaku terlebih dahulu dan bertanya seraya memandangku lembut
dengan senyuman di bibirmu. Aku sedikit mengibaskan rambut pendekku lalu
berpaling.
“Namaku Reva, Reva Verdiant,” jawabku. Baguslah kalau kau yang mengajak berbicara
terlebih dahulu.
“Hei, salam kenal, ya,” ucapmu lagi
seraya menyodorkan tangan kananmu untuk bersalaman. Aku melirik ke arah
tanganmu. Aku membalas jabat tangan itu.
“Salam kenal juga,” ucapku mencoba
tersenyum lembut. Aku senang dapat berkenalan denganmu, kau tahu itu?
Hari demi hari berlalu. Kau sudah
akrab dengan teman-teman di kelas ini. Kau dan aku? Masih datar dan biasa-biasa
saja. Aku berbeda dengan teman-temanku yang lebih dulu mengambil tindakan. Aku lebih
suka bersikap diam dan membaca buku di kursi paling belakang ini. Bahkan hari
inipun tetap seperti itu, di jam istirahat pertama. Kau dan yang lainnya
mungkin sedang istirahat dan pergi ke kantin. Yang ada di kelas hanyalah aku yang
sedang membaca buku dan beberapa murid lainnya.
“Wah, sepertinya enak sekali bisa
duduk dengan Ray,” ucap salah satu temanku tiba-tiba. Aku sedikit terkejut dan
mengangkat wajah.
“Enak kenapa?” tanyaku datar.
“Kau tahu? Dia itu murid yang pintar.
Saat di Jakarta, dia selalu mendapatkan juara umum. Nah, sekarang dia duduk
denganmu yang juga selalu menjadi juara umum. Bagaimana selanjutnya, ya?” ucap
temanku. Aku diam tidak menanggapinya.
Tampan, pintar, dan ramah. Kau bisa
saja langsung menjadi idola di sekolah ini. Itulah yang ada di pikiranku.
Sesaat setelah percakapan singkat itu, temanku itu permisi untuk pergi keluar,
mungkin ke kantin. Kali ini aku kembali sendiri.
Minggu demi minggu berlalu.
Perasaanku kepadamu mulai kuat. Aku menyukaimu. Tapi aku tidak sanggup
mengutarakannya. Tidak bisakah kau sedikit memberi peluang dan harapan? Kau
selalu memberikan senyum yang sama ke setiap orang yang sedang berbicara
denganmu, termasuk aku. Membuatku merasa menjadi bukan orang yang spesial di
hatimu. Memang bukan.
Kemudian di suatu hari, di saat
kelas sedang kosong, dimana aku sedang belajar untuk persiapan ulangan kenaikan
kelas. Kau yang duduk di sebelahku tampak sedang membaca buku pelajaran,
belajar dengan wajah datar, tidak terlalu serius atau fokus seperti orang-orang
biasanya. Aku mencuri-curi pandang ke arahmu, menatapmu lekat-lekat. Tiba-tiba
kau menoleh ke arahku, dan hal itu membuatku terkejut lalu salah tingkah. Tapi
kau hanya tersenyum, sama seperti yang sebelum-sebelumnya.
“Kau mau ikut denganku?” tanyamu
seraya menatapku lembut.
“Ikut? Ikut ke mana?” tanyaku balik,
dengan wajah sedikit heran.
“Mal,” jawabmu singkat. “Ada yang
ingin kubeli,” ucapmu lagi. Aku terdiam beberapa saat. Kau mengajakku? Kenapa
tiba-tiba? Kita tidak terlalu akrab, kan?
“Kenapa tidak mengajak teman
laki-lakimu saja?” tanyaku dengan pandangan menyelidik.
“Mereka lebih tertarik tidur di
rumah,” jawabmu.
“Tapi...”
“Aku tidak akan melakukan sesuatu
yang aneh-aneh. Cukup temani aku saja jalan-jalan,” kau lebih dulu memotong
ucapanku seraya menunjukkan wajah mengiba yang dibuat-buat. “Kau tahu? Aku sama
sekali belum hafal dengan isi kota ini,” ucapmu lagi. Aku berpikir sesaat
sebelum akhirnya mengangguk ragu-ragu.
“Ya, akan kutemani,” jawabku pelan.
“Kapan?” tanyaku.
“Pulang sekolah,” jawabmu yakin.
Akhirnya, setelah pulang sekolah aku
menelepon orang tuaku untuk memberitahu kalau aku sedang pergi bersama
teman-teman dan meminta supir pribadiku untuk tidak menjemputku. Tentu saja aku
tidak mengatakan kalau aku hanya berjalan berdua dengan seorang pemuda yang
bahkan tidak terlalu ‘kukenal’ meskipun satu kelas di sekolah.
Pulang sekolah aku agak menjauhi
teman-temanku. Agak berbahaya jika mereka tahu aku berjalan berdua denganmu.
Bisa-bisa gosip tidak jelas akan beredar di sekolah ini.
Awalnya aku menduga kita akan naik taksi, tapi
ternyata kau memiliki mobil dan supir pribadi. Sudah empat bulan kau sekolah di
sini, tapi aku baru menyadarinya. Begitu tak akrabkah kita? Atau aku terlalu
menutup diri dalam berteman denganmu?
Duduk di mobil yang cukup mewah
memang menyenangkan. Tapi yang membuat istimewa adalah karena kita duduk
berdampingan di kursi belakang. Aku gugup, tapi kau malah asyik melihat keluar
jendela memandang gedung-gedung dan toko besar saat mobil melaju perlahan di
jalan raya.
“Bukankah di Jakarta banyak
gedung-gedung besar?” tanyaku. Kau berbalik.
“Aku jarang keluar rumah. Aku lebih
suka belajar atau sekadar membaca buku cerita,” terangmu. “Yah, itu lebih baik
daripada membuang waktu hidup delapan belas jam seminggu hanya untuk tidur,”
tambahmu lagi. Aku hanya mengangguk mengerti. Kau pribadi yang unik rupanya.
“Maaf, pekerjaan ayahmu apa?”
tanyaku. Tidak enak bertanya seperti ini, tapi melihatmu memiliki mobil mewah
ini, yang lebih mewah daripada milikku, membuatku jadi penasaran.
“Hmm, dia bekerja mengawasi puluhan
tempat dagangnya yang tersebar di Indonesia ini,” ucapmu seraya tersenyum. “Di mana
ada tempat dagang yang perlu penanganan, ayahku turun tangan khusus
mengawasinya.”
Tempat dagang. Tak perlu bertanya
lagi. Kau memang anak orang kaya. Tempat dagang menurutmu itu tentu saja adalah
mal, swalayan, toko, dan lain-lain.
“Tuan, tujuan kita ini sebenarnya ke
mana?” tanya supirmu tiba-tiba. Kau menoleh saat mendengar pertanyaan itu.
“Astaga, bahkan akupun tidak tahu
mau ke mana,” jawabmu sambil menepuk jidat. “Oh, ya, itulah alasanku membawamu,”
ucapmu seraya menatapku. Aku tersenyum.
“Biar kutunjukkan jalannya,” ucapku.
□□□
Setelah sampai di salah satu mal
besar di kota ini, kau langsung melompat turun dan melihat-lihat mal yang
tinggi itu sampai ke puncaknya. Akupun turun dan melihatmu.
“Kenapa? Tentu saja masih lebih besar
Blok M, kan?” ucapku. Kau tertawa. “Jangan-jangan ini juga milik ayahmu?”
tanyaku.
“Bukan,” jawabmu tersenyum. “Empat
bulan aku di kota ini, tapi baru pertama kalinya aku ke tempat ini,” tambahmu.
Setelah meminta supir menunggu, kau
bergegas masuk seraya menarik tanganku. Membuatku sedikit gugup karena
bersamamu.
Di dalam mall yang ramai ini aku
lebih bersikap pasif. Wajar saja, aku juga jarang masuk ke sini, kau tahu? Kita
berkeliling mengitari bagian aksesoris. Aku sedikit gelisah melihat orang-orang
yang menatap kita yang seperti anak sekolah baru pulang lalu belanja bersama
layaknya seorang kekasih. Mirip, mirip seperti itu. Kecuali bagian yang
terakhir. Karena kita bukan sepasang kekasih.
“Kau sebenarnya mencari apa?”
tanyaku penasaran saat melihatmu sedang mengamati deretan jam tangan.
“Jam tangan,” jawabmu.
Tak lama kemudian kau mengambil
sebuah jam tangan biru. Kau mengamati jam itu sesaat sebelum akhirnya
membelinya. Biru? Jaketmu biru, mobilmu juga biru.
“Kau suka warna biru?” tanyaku
padamu. Kau mengangguk seraya berjalan di sebelahku.
Kali ini kau mengajakku berjalan ke
bagian lain. Kau hanya menebak-nebak arah, tapi ternyata tujuanmu tepat. Bagian
penjualan buku.
“Pilihlah satu buku yang kau suka.
Tenang saja, aku yang akan bayar,” ucapmu seraya tersenyum sambil berjalan ke
bagian komik. Aku diam.
Hei, aku tidak hafal tempat ini! Aku
berlari kecil mendekatimu lalu menarik ujung belakang jaket birumu. Kau sedikit
terkejut dan berbalik lalu memandangku.
“Tunggu! Kita cari sama-sama!”
ucapku. Kau mengangguk lalu berjalan perlahan dan diikuti olehku.
Aku hanya melihat tingkahmu yang
memilih-milih beberapa komik remaja di antara kerumunan orang. Seukuran anak
SMP, minat bacamu tinggi juga. Empat belas komik kau beli. Setelah membayarnya,
kau menitipnya di kasir, lalu berjalan menemaniku membeli buku untukku sendiri.
Buku yang kusukai? Novel. Novel
fantasi yang tidak bertele-tele. Tidak bersambung, satu buku langsung tamat.
Mudah saja menemukan novel seperti itu. Seperti janjimu, kau yang membayarnya.
Setelah selesai membayarnya, kau mengambil titipan komikmu lalu berjalan keluar
bersamaku.
Setelah masuk kembali ke dalam
mobil, kau mengantarku pulang. Rumahku cukup jauh dari tempat ini. Sepanjang
perjalanan kau terus membaca komik yang kau beli sambil sesekali berbicara
denganku. Jika sudah berbicara, aku hanya berbicara sedikit karena belum
terlalu akrab denganmu.
Hari sudah sore ketika kita sampai
di rumahku. Kau tersenyum mengamati rumahku dari jendela mobil saat aku sudah
keluar dari mobil dan berdiri di pagar depang rumahku.
“Kenapa?” tanyaku heran karena
melihat senyummu. “Rumahku tentu tak sebesar rumahmu,” ucapku lagi.
“Bukan, bukan masalah itu,” ucapmu
seraya memandangku. “Paling tidak, aku menjadi tahu di mana rumahmu. Siapa tahu
saja suatu saat aku berkunjung, kan?” tambahmu lagi.
Setelah itu kau tersenyum lalu pamit
pulang. Mobilmu tetap kupandang saat sudah lewat di tikungan di ujung jalan
sana. Aku lalu berbalik dan membuka pagar untuk masuk. Rasanya cukup lelah juga
seharian berjalan-jalan denganmu. Pagar ini terasa berat untuk ditutup kembali.
Saat aku tengah menutup pagar,
tiba-tiba mobilmu kembali. Dan kepalamu menyembul keluar dari jendela. Aku
tentu sangat bingung.
“Ada apa?” tanyaku heran.
“Nomor handphone milikmu. Aku lupa minta nomor handphone-mu!” ucapmu. Aku terdiam. Kau meminta nomor handphone milikku?
“Untuk apa kau memintanya?” tanyaku
penuh selidik.
“Mungkin... ah, siapa tahu saja aku
ada perlu denganmu,” jawabmu. Ekspresimu sedikit ragu. Seperti ada yang kau
sembunyikan. Tapi, berhubung aku menyukaimu, apa salahnya?
Aku kemudian mengucapkan nomor handphone milikku dari balik pagar yang
terlanjur kututup dan kau mengetiknya di handphone
milikmu. Kau tersenyum.
“Terima kasih,” ucapmu seraya
menyimpan handphone milikmu kembali.
Aku mengangguk. Untuk kedua kalinya kau pamit pulang. Aku merasa sangat senang
hari ini, apa kau tahu itu?
Malam harinya, saat aku beranjak
tidur, aku masih sempat membayangkan dirimu dan tentang kebersamaan kita sesaat
siang tadi. Novel yang kubeli tadi baru saja kubaca, tapi belum seluruhnya. Ada
satu hal yang kupikirkan. Kenapa aku? Kenapa harus aku yang kau ajak untuk
menemanimu? Kita tidak terlalu akrab. Teman-temanku yang lain malah lebih akrab
denganmu ketimbang aku. Kau juga meminta nomor HPku. Kau menyukaiku? Tapi, kau
seperti bersikap biasa-biiasa saja. Sikapmu sama seperti menghadapi gadis-gadis
lainnya. Tidak ada perlakuan sikap khusus terhadapku. Malam ini aku tertidur dengan banyak tanda tanya.
Besoknya, kujalani hari-hari seperti
biasa. Sikapmu kembali seperti biasanya, aku tidak diperlakukan khusus olehmu. Hari
demi hari tetap tidak ada SMS yang masuk darimu. Jadi, untuk apa kau meminta
nomor handphone milikku?
Bulan demi bulan pun berlalu. Kita
sekarang sudah naik ke kelas IX dan sudah masuk ke semester kedua. Tidak perlu
dipertanyakan lagi, kaulah yang menyabet gelar juara umum. Aku? Aku puas dapat
nomor dua, di bawahmu. Puas karena aku sekarang sudah akrab denganmu.
Di kelas IX ini kita kembali duduk
semeja di bagian belakang atas usul wali kelas. Alasannya agar murid yang lain
bisa duduk di depan dan tidak mengincar kita berdua sebagai sasaran menyontek.
Suatu hari, saat pelajaran di kelas
sedang kosong, aku memberanikan diri untuk berbicara topik yang tidak umum
kepadamu. Ya, topik tentang dirimu. Sesuatu yang membuatku penasaran sejak
kenal denganmu.
“Namamu terdengar aneh. Apa
mengandung arti khusus?” ucapku bertanya tanpa basa-basi saat kau sedang diam
membaca buku. Kau menoleh ke arahku.
“Apa nama ‘Ray’ memang terdengar
aneh?” tanyamu kemudian.
“Sedikit,” ucapku. “Tapi ‘Elightfa’
masih lebih aneh. Cahaya? Sinar? Kenapa begitu?” tanyaku penasaran karena dalam
namanya ada kata ‘light’. Kau berpikir sesaat.
“Ibuku menyukai sesuatu yang
berhubungan dengan cahaya,” ucapmu singkat. Aku terdiam dan menunjukkan ekspresi
belum puas. Kau mengerti apa mauku. “Ibuku mungkin ingin aku menjadi cahaya dari
sinar yang menerangi kegelapan,” ucapmu lagi berspekulasi. Aku memiringkan
sedikit kepalaku. Makna yang aneh, pikirku. “Terdengar seperti fantasi, ya,”
tambahmu lagi seraya tertawa kecil.
Itulah yang terus kita lakukan.
Melakukan pembicaraan kecil. Pembicaraan kecil yang membuat kita saling
mengenal satu sama lain. Aku jadi tahu kalau kau memiliki seorang adik
perempuan, yang kadang-kadang kulihat ikut menjemputmu pulang sekolah bersama
supirmu. Aku juga menjadi tahu kalau kau bergitu terobsesi dengan warna biru,
warna yang kuanggap adalah kelembutan.
Aku berpikir semua akan berjalan
seperti ini terus. Aku berharap dapat mengungkapkan perasaanku ini terhadapmu.
Tapi kau belum juga memberikan sinyal perhatian khusus. Membuatku ragu apakah
kau juga menyimpan perasaan yang sama terhadapku.
Bulan demi bulan kembali berlalu
lagi. Tak terasa ujian nasional sudah di depan mata. Apa yang kutakutkan telah
hampir menjadi kenyataan.
“Jadi, kau akan melanjutkan sekolah
di mana?” ucapmu bertanya. Pertanyaan itu seolah-olah menyadarkanku bahwa kita
akan berpisah. Aku berpikir sesaat.
“Mungkin.. ke Sampit?” jawabku ragu
seraya menutup buku pelajaran yang baru selesai kubaca.
“Sampit? Aku rasanya pernah mendengar
nama kota itu. Kota itu ada di mana?” tanyamu kemudian.
“Dari kota ini, sekitar lima jam
perjalanan menggunakan mobil,” jawabku. Aku kemudian menjelaskan letak kota itu
kepadamu. Kau kemudian mengangguk mengerti.
“Kenapa kau memilih sekolah di
sana?” tanyamu.
“Aku ikut orang tuaku yang pindah
berkerja di sana,” jawabku. “Kau sendiri di mana?” tanyaku balik, mengubah arah
pembicaraan.
“Surabaya. Sama denganmu, aku ikut
orang tuaku juga pindah,” jawabmu yakin. Surabaya!? Yang benar saja? Kita akan
terpisah jauh. Aku kemudian langsung tertunduk lesu, kecewa.
Untuk beberapa saat kita terdiam.
Kau kembali membaca bukumu, begitu juga aku. Kita terus terdiam hingga jam
pelajaran ini selesai.
Akhirnya ujian nasional pun tiba.
Semua soal yang kuhadapi terasa hambar dan mudah begitu saja. Entah kenapa kita
tiba-tiba jarang berbicara bersama. Begitulah seterusnya hingga pengumuman
kelulusan. Kita berdua lulus dengan nilai memuaskan dan NEM sama persis.
Astaga, padahal aku sama sekali belum mengungkapkan perasaanku terhadapmu!
Beberapa hari setelah kelulusan, aku
pergi ke Sampit untuk mengambil formulir pendaftaran masuk ke salah satu
sekolah di situ. Kita belum berbicara sejak terakhir bertemu saat pengumuman
kelulusan itu. Hingga pada suatu hari saat aku kembali ke Palangkara Raya untuk
berkemas persiapan pindah, kau mendatangi rumahku dan mengajakku keluar. Aku
diam dan tertunduk, tapi aku tetap mengikutimu.
Sepanjang perjalanan di dalam mobil,
kau hanya berbicara sedikit. Tapi senyummu tetap seperti yang biasa kulihat.
Aku tidak memperhatikan tujuan mobil ini ke mana, dan saat aku sadar, kita
sudah ada di bandara! Aku benar-benar terkejut.
“Jangan-jangan kau..” ucapku saat
sedang berdiri berdua denganmu di bagian luar bandara.
“Aku berangkat ke Surabaya hari ini,”
jawabmu seraya berusaha tersenyum.
“Oh,” ucapku singkat. “Lalu, kenapa
kau mengajakku?” tanyaku.
“Ada yang ingin kuberikan untuk
orang yang sudah duduk satu setengah tahun semeja bersamaku di sekolah,”
ucapmu.
“Apa?” ucapku bingung dan penasaran.
Kau kemudian mengeluarakan sesuatu dari balik kantongmu. Ternyata sebuah jam
tangan hijau dan syal kain yang juga berwarna hijau.
“Untukmu,” ucapmu seraya menyodorkan
kedua benda itu sambil tersenyum. “Beberapa hari yang lalu aku berjalan sendiri
ke mal. Aku bingung ingin membeli apa, jadinya aku hanya beli itu saja,”
terangmu. Aku diam beberapa saat seraya mengambil benda itu dari tanganmu. Aku
merasa syal itu begitu lembut.
“Hei, kenapa kau tahu aku menyukai
warna hijau? Aku belum pernah mengatakannya, kan?” tanyaku seraya sedikit
tersipu.
“Dari namamu. Verdiant, tanpa huruf ‘i’,”
jawabmu singkat. Jadi kau menyadarinya juga, ya. “Ada yang ingin aku katakan,”
ucapmu lagi.
“Katakanlah,” jawabku. Aku berniat
ingin mengungkapkan perasaanku sekarang juga setelah kau selesai berbicara. Ini
saat terakhir bisa melihatmu sebelum kita berpisah jauh!
“Aku, aku sebenarnya...” kau diam
sesaat, menghentikan kata-katamu. Apa yang ingin kau katakan? Kau terlihat diam
memikirkan kata-kata, berusaha merangkai kata. “Aku...”
“Tuan, pesawatnya akan segera
berangkat,” tiba-tiba suara supirmu memotong ucapanmu. Aku dan kau menoleh.
Kulihat kau mengangguk mengerti.
“Reva, maaf, aku harus segera
berangkat,” ucapmu. “Supirku akan mengantarmu pulang,” ucapmu seraya langsung
berbalik dan bergegas masuk ke dalam.
Hingga masuk ke dalam bandara, tak
sedikit pun kau berpaling untuk melihatku. Aku ingin memanggilmu dan
mengungkapkan perasaan ini. Tapi aku tak sanggup dan tak memiliki keberanian.
Itulah terakhir kalinya aku melihatmu. Aku hanya diam menitikkan sedikit air
mata di mobilmu yang tengah melaju seraya menatap sebuah pesawat yang sedang
terbang dari bandara. Aku tahu, kau ada di dalamnya. Aku perlahan menyandarakan
punggungku di kursi belakang ini seraya menerawang jauh.
“Nona,” supirmu menyapaku seraya
menatapku dari kaca dashboard. Aku menatap
balik melalui kaca itu.
“Ya?” ucapku seraya mengusap mataku
yang basah karena air mata.
“Anda tahu? Anda adalah teman perempuan
tuan Ray pertama yang diajak naik ke mobil ini,” terang supir itu. Aku terdiam
sesaat. Aku yang pertama?
“Benarkah?” tanyaku dengan nada tak
percaya.
“Ya, dan sepertinya dia menyukai
anda,” ucap supir itu lagi.
Aku sedikit terkejut mendengar hal
itu. Tapi aku hanya diam dan menundukkan kepala. Bodoh, kau terlambat
mengungkapkannya, Ray! Kugenggam erat syal hijau itu dan kupasang jam tangan
hijau itu di pergelangan tangan kiriku lalu aku mencoba untuk tersenyum.
□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□□
Tahun demi tahun berganti. Tak
terasa sudah 2,5 tahun berlalu sejak pertemuan pertama kita di SMP, dan sudah satu
tahun berlalu sejak pertemuan terakhir kita di bandara. Kini aku baru saja
duduk di kelas XI di sebuah SMA di kota Sampit ini. Hari-hari yang kujalani
terasa datar dan hambar sejak berpisah denganmu. Di sekolah inipun aku tidak
menemukan seorang pemuda yang bisa kusukai melebihi rasa sukaku terhadapmu. Kau
tahu? Rambut pendekku kini sudah kupanjangkan hingga sampai ke pundakku. Syal
hijau dan jam tangan hijaumu tetap terus kupakai selama ini, untuk tetap
sebagai pengingat tentang dirimu.
Hari-hari yang kujalani di sekolahku
datar-datar saja. Sangat berbeda saat bersama denganmu dulu. Hingga kinipun kau
tidak pernah menelepon atau mengirim SMS kepadaku. Apa gunanya kau meminta
nomor handphone milikku, Ray? Dan aku
bergitu bodohnya tidak meminta nomor handphone
milikmu saat masih bersamamu. Awalnya
kupikir semua akan tetap berjalan begitu datar saja, hingga pada suatu hari di
kelasku kedatangan murid baru, murid perempuan.
Murid baru? Itu hal yang biasa. Tapi
murid baru itu ternyata adalah teman SMP-ku dulu, saat masih di Palangka Raya. Kami
sama-sama terkejut saat mengetahui bahwa kami bisa bertemu lagi. Kamipun mulai
saling berbincang mengingat masa lalu. Yah, paling tidak ada yang bisa dibahas
di kehidupanku bersamanya.
Beberapa bulan kemudian, pada suatu
hari dia bercerita tentang teman-teman lama kami. Rupanya rata-rata temanku
dulu sebagian besar melanjutkan sekolah di Palangka Raya dan pulau Jawa.
Menarik, karena aku dan dia yang bisa terlempar ke kota ini.
“Ray bersekolah di Surabaya,”
ucapnya tiba-tiba saat kami sedang berdua di dalam kelas. Aku menoleh
kepadanya.
“Eh? Ya, aku tahu itu,” jawabku.
“Kau tahu dari mana?” tanyaku padanya.
“Aku bertemu dengannya saat liburan
kemarin,” jawabnya. “Aku sempat berkunjung ke rumahnya untuk sekadar
jalan-jalan,”
Aku terdiam beberapa saat mendengar
ucapannya.
“Kau.. kau tahu alamat rumahnya??”
tanyaku. Dia mengangguk lalu memberitahu alamat rumahmu.
Malam harinya, saat aku sedang
tidur-tiduran di kamarku, aku memandang secarik kertas berisi alamat rumahmu
yang ada di Surabaya. Apa aku harus nekat menyusulmu ke sana? Ya! Aku harus
menyusulmu!
Beberapa minggu kemudian, saat
sekolah kami sedang libur karena persiapan ulangan umum, aku berencana pergi ke
Surabaya. Dengan modal nekat dan uang tabunganku yang banyak, ditambah dengan
alamat rumahmu di secarik kertas, aku melangkah masuk ke dalam bandara Sampit.
Aku pergi dan mengatakan akan bermalam di rumah teman, itulah yang kuucapkan
kepada orang tuaku.
Aku diam menunggu di dalam waiting room bandara Sampit ini,
menunggu kedatangan pesawat bersama calon penumpang lainnya. Sesekali aku
berpikir apakah keputusanku ini sudah tepat? Menyebrangi pulau untuk bertemu
denganmu? Bagaimana jika aku tidak bertemu denganmu? Huh, pikiran negatif yang
memuakkan.
Tak terasa pesawat yang akan aku
tumpangi telah tiba. Setelah penumpang senelumnya turun, aku dan penumpang yang
ada di waiting room pun masuk ke
dalam pesawat. Di dalam pesawat aku duduk paling belakang, tempat yang sepi
karena banyak kursi yang kosong. Mungkin karena aku membeli tiket beberapa jam
sebelum keberangkatan dan penumpang tujuan Surabaya dari Sampit memang jarang.
Saat tengah duduk, kupejamkan mata
sambil menyempatkan diri melirik ke jam tangan hijauku. Masih jam delapan pagi.
Aku kemudian tertidur.
□□□
Aku terbangun. Kulihat sekelilingku,
terasa sepi. Yang ada hanyalah seorang pramugari yang tengah berdiri di sebelahku.
“Nona, kita sudah sampai,” ucap
pramugari itu seraya tersenyum.
Aku mengusap wajahku dan melirik ke
jam tanganku. Sudah jam sembilan pagi. Aku kemudian berdiri dan mengambil tas
gendongku lalu berjalan keluar dari dalam pesawat. Perjalanan satu jam bisa
membuatku tertidur?
Setelah keluar dari pesawat,
suasananya berubah menjadi riuh. Para calon penumpang banyak terlihat di
seluruh bagian bandara Djuanda ini. Aku sudah pernah ke bandara ini, jadi aku
sudah hafal segala bagiannya. Aku langsung berjalan menuju pintu keluar dan
segera mendatangi taksi bandara.
Kutunjukkan alamat rumahmu lalu
setelah membayar, aku mendapatkan tiket. Aku langsung berjalan menuju taksi
bandara yang sudah menunggu di depan, aku masuk dan langsung menyerahkan tiket
yang sudah berisi alamat tujuan itu. Taksi itu kemudian melaju perlahan menjauh
dari bandara.
“Ke rumah keluarga, ya, nona?” tanya
supir taksi itu padaku saat mobil tengah melaju cepat di jalan tol. Aku
menggeleng. “Lalu ke rumah siapa?”
“Teman.. teman lama,” jawabku. Supir
itu mengangguk-angguk.
“Hoo, jarang sekali ada penumpang
yang minta diantar ke alamat itu,” komentar supir itu. Aku hanya diam mendengar
ucapan supir itu
Aku diam menikmati setiap
pemandangan gedung-gedung tinggi yang ada di dalam kota ini. Berbeda sekali
dengan Sampit yang masih cukup banyak ditumbuhi pepohonan hijau, tempat untuk
berteduh dan merasakan hembusan sejuk angin. Tanpa aku sadari taksi yang
kutumpangi sudah masuk ke dalam sebuah kompleks perumahan yang berisi
rumah-rumah mewah. Sangat mewah!
Taksi itupun berhenti di depan
sebuah rumah bernomor 17.
“Ini alamat tujuan anda, nona,” ucap
supir itu seraya tersenyum. Aku mengangguk lalu turun dari taksi itu. Setelah
aku turun, taksi itu melaju perlahan keluar dari kompleks perumahan ini.
Aku terdiam melihat rumah bernomor
17 ini. Rumahmu, itulah yang kutahu dari temanku dan dari alamat yang kupegang.
Aku berdiri mematung di halaman depan rumah itu. Aku tidak salah alamat, kan?
Aku bingung apa yang akan kulakukan jika ini benar rumahmu. Datang jauh-jauh
dari Sampit menuju ke Surabaya untuk menyatakan cinta? Alasan yang bisa
membuatku ditertawakan oleh seisi sekolahku. Masa bodoh.
Aku berjalan masuk mendekat ke arah
pintu depan rumah itu. Saat telah berdiri tepat di depan rumah itu, aku menarik
napas panjang untuk menghilangkan
kegugupanku. Saat aku hendak menekan bel, tiba-tiba aku melihat seseorang
tengah berlari-lari kecil di dalam, di ruang tamu itu, lalu disusul oleh
seorang gadis. Orang itu adalah kau! Dan gadis itu... siapa gadis itu?
Kau langsung duduk di atas sofa,
lalu gadis itu duduk di pahamu, kau memeluknya dari belakang, bercanda
bersamanya. Kalian tertawa bersama. Tak kurasa air mataku meleleh. Kau kemudian
mengalihkan pandanganmu keluar. Kau menyadari keberadaanku, lalu senyummu
berubah menjadi ekspresi keterkejutan. Aku langsung sedikit menangis dan
berlari menjauh.
Aku segera berlari keluar dari
kompleks perumahan itu dan memanggil taksi yang kebetulan lewat di jalan raya.
“Ke bandara, Pak!” ucapku sambil
menangis. Tanpa banyak tanya supir itu segera mengemudikan mobilnya.
Rasanya perasaanku hancur saat
melihatmu bersama gadis lain. Aku benar-benar terlambat menyatakan perasaanku. Sepanjang
perjalanan air mataku tak henti-hentinya mengalir. Hingga akhirnya taksi itu
telah sampai di depan bandara. Setelah membayar, aku turun dari dalam taksi dan
berjalan ke depan bandara bagian penjualan tiket.
Aku segera meminta tiket pesawat
dengan jadwal terbang tercepat yang ada dari kasir. Setelah membayar tiket dan
mendapatkan tiket, aku berjalan-jalan sesaat di luar bandara itu. Kulirik jam
tanganku. Masih jam 10:30...
Sekarang...
Aku memalingkan wajahku setelah
melihat jaket biru polos itu. Tak lama kemudian ada pemberitahuan bahwa
penumpang tujuan kota Sampit diharapkan untuk masuk ke dalam waiting room. Aku menarik napas panjang lalu berjalan masuk ke
dalam waiting room itu. Tampak
penumpang dengan tujuan Sampit sangat sedikit hari ini. Aku memilih duduk di
kursi bagian tengah ruangan seraya memandang keluar kaca bagian belakang,
memandang beberapa pesawat yang sedang terpakir maupun yang bersiap lepas
landas.
Hebat, jauh-jauh pergi ke kota
pahlawan ini hanya untuk mendapatkan kekecewaan. Aku kemudian menunduk dengan
wajah sedih. Ingin rasanya aku merobek syal hijau ini, atau membanting jam
tangan hijau ini. Cukup lama aku tertunduk hingga tak sadar pesawat yang akan
kutumpangi telah datang dan sedang mengisi bahan bakar. Aku sebentar lagi akan
pergi dari kota ini.
Kubuka tas kecilku untuk mengambil HP.
Ternyata sejak sampai di kota ini tadi pagi, aku sama sekali belum menyalakan HPku.
Saat kunyalakan, tiga SMS beruntun masuk. Astaga! Itu SMS darimu!
“Reva!?
Apa itu kau??”
“Hei!
Reva! Kau ke mana??”
“Kau
di mana?? Aku ingin bicara denganmu!”
Itulah tiga SMS yang masuk darimu.
Tiba-tiba sebuah ada panggilan masuk. Panggilan masuk darimu! Aku terkejut. Ini
pertama kalinya kau mengirim pesan dan... meneleponku!
“...halo,” ucapku lirih.
“Reva. Astaga, aku tidak menyangka
kau ada di kota ini,” ucapmu di ujung sana. Suaramu terdengar berat dan
kelelahan. “Lihatlah ke jendela besar!” perintahmu. Aku menoleh.
Di situ, di luar waiting room, dilihat dari dinding yang
terbuat dari kaca, aku dapat melihatmu terengah-engah seraya menggenggam HPmu,
berbicara denganku dengan senyum kelelahan. Aku bisa melihatmu dengan jelas.
Penampilanmu tidak banyak berubah dari dulu, tapi rambutmu sedikit lebih
panjang. Keringat tampak merembes keluar dari jaket birumu. Kau pasti melesat
cepat menuju bandara ini untuk menyusulku.
“Kau, kenapa menyusulku?” tanyaku
seraya sedikit menitikkan air mata.
“Pertanyaan bodoh. Aku menyusulmu
karena..” kau menghentikan napasmu
seraya menarik napas. “..karena aku
mencintaimu!” ucapmu tegas. Kau, kau mengatakannya.
“Lalu siapa gadis itu tadi? Yang
bercanda denganmu sampai berpelukan?” tanyaku dengan air mata yang semakin meleleh
antara terharu dan sedih.
“Kau lupa dengan adikku yang dulu
sering ikut menjemputku pulang sekolah??” ucapmu dengan ekspresi tak percaya.
Aku langsung tersadar. Bodoh, aku lupa jika itu adiknya. Tiba-tiba terdengar
pemberitahuan bahwa penumpang tujuan Sampit untuk segera masuk ke dalam
pesawat. Aku terdiam beberapa saat.
“Begitu, ya,” ucapku lirih padamu
melalui telepon. Penumpang di sekitarku segera berjalan menuju pesawat, hanya
aku yang tersisa di waiting room.
“Apa jawabanmu??” tanyamu seraya
terengah-engah dan merapatkan diri ke dinding kaca itu. Aku mengangkat wajah
dan memandangmu.
“Seharusnya kau mengatakan hal ini
beberapa tahun yang lalu, saat kita masih bersama, Ray,” jawabku. Wajahmu
tampak berubah cemas.
“Aku tahu, tapi aku terlalu pengecut
untuk mengatakannya,” ucapmu seraya mengepalkan tangan. “Aku..”
“Masih ada harapan,” potongku. “Kau
ingin jawaban? Datanglah kepadaku. Jangan telepon atau mengirim pesan kepadaku,
jika kau ingin jawaban dariku. Kau harus bertemu langsung denganku,” tantangku.
Ekspresi wajahmu langsung berubah cerah, kau tersenyum. “Kapan-kapan
berkunjunglah ke Sampit,” ucapku.
“Sampit?? Itu.. ng? A.. aku akan
menyusulmu!!” ucapmu seraya tersenyum lebar, tanda kepuasan. Tapi ekspresi
wajahmu tiba-tiba menjadi bingung sendiri. Atau jangan-jangan kau salah menebak
sekolahku?
Aku langsung memutuskan hubungan
telepon itu tanpa berkata apa-apa. Aku berjalan menuju ke pesawat. Aku menoleh
sesaat, kulihat kau berkata sesuatu. Aku tidak bisa mendengar suaramu karena
terhalang oleh dinding kaca itu, tapi aku dapat membacanya dari bibirmu.
“Aku pasti datang!!” itulah yang
pasti kau ucapkan dari gerakan bibirmu.
Akhirnya aku kembali duduk di
pesawat yang sama seperti yang kutumpangi tadi pagi. Pesawat ini lepas landas
dengan mulus. Aku tersenyum lembut mengingat semua kejadian itu.
“Bodoh, kau seharusnya mengatakan
itu saat kita masih bersama, Ray. Aku menunggumu. Kau pasti sangat bodoh jika
tidak datang,” gumamku seraya memandang keluar dari jendela, melihat ke bandara
itu saat pesawat sedang berbelok di udara setelah lepas landas.
Di bawah sana, di depan bandara, aku
dapat melihat seseorang yang memakai jaket biru tengah berdiri dan sepertinya
memandang ke arah pesawat ini lalu melambaikan tangannya sesaat. Aku tersenyum
lalu menyandarkan kepalaku ke kursi dan memejamkan mata untuk sekedar tidur
sesaat.
“Aku percaya kau pasti datang,” ucapku pelan. “Itupun
jika kau tidak masuk kota yang salah, Ray.”
□□□
©2012 by Hikaru Xifos, Past ~ to ~
Present
0 komentar:
Posting Komentar
...........................