Dari SNMPTN 2013 ke SBMPTN 2013
Seperti
biasa, di saat istirahat pertama seperti ini aku lebih memilih untuk bersantai
di kantin dan memesan es teh. Setidaknya itulah skenario yang ingin kulakukan
seperti hari-hari sebelumnya, namun hari ini agak berbeda. Di depan papan
pengumuman tampak beberapa anak kelas XII sedang berkerumun dan berebutan untuk
membaca sesuatu.
Karena
tidak ingin berdesak-desakan, aku menunggu kerumunan itu agar sepenuhnya
lenyap. Setelah semua orang itu pergi, aku segera mendekati papan pengumuman
dan membaca sebuah poster besar.
“SNMPTN?”
ucapku membaca tulisan besar pada bagian atas poster itu.
Hooo,
ini semacam salah satu “jalan pintas” untuk masuk PTN rupanya. Beberapa temanku
sudah membuat keputusan ke mana mereka akan melanjutkan kuliah, begitu juga
aku. SNMPTN merupakan salah satu cara menyaring mahasiswa baru dengan
mempertimbangkan nilai rapor kelas X, XI, dan XII.
Singkat
cerita, akupun mengisi tujuan PTN yang kuinginkan. Berbeda dengan teman-temanku
yang kebanyakan mengisi prioritas satu dan dua dengan PTN lokal di Kalimantan,
aku mengisi prioritas satu dan dua dengan PTN di Jawa Barat, sedangkan
prioritas tiga dan empat aku isi dengan PTN lokal di Kalimantan. Yah, terlihat
terlalu percaya diri dan kemungkinan untuk gagal sangatlah besar.
Aku
tidak terlalu memikirkannya. Yang kutahu, tiket utama untuk masuk PTN adalah
melalui tes, bukan jalan pintas yang gambling
seperti SNMPTN ini. Meskipun sudah mengikuti SNMPTN, aku tetap memilih belajar
untuk berjaga-jaga.
Tepat
di hari pengumuman hasil SNMPTN, beberapa status di Facebook sudah terlihat
ramai. Isinya bermacam-macam, ada yang senang karena lulus, ada juga yang
menggalau karena tidak lulus. Karena pengumumannya diumumkan secara online, akupun mengunjungi website SNMPTN melalui browser handphone.
Setelah
memasukkan data penting, maka muncullah hasilnya:
“Maaf, Anda tidak dinyatakan lulus SNMPTN
2013.”
Tulisan
itu muncul dengan sangat jelas di layar handphone
milikku. Sejenak dunia terasa diam. Aku tidak terlalu terkejut dengan hasilnya.
Semua sudah diperkirakan.
□□□
Halo!
Kembali bertemu lagi dengan saya! *naik tikar terbang* ehem, semoga para
pembaca dalam keadaan sehat, ya. Tetap semangat juga bagi makhluk transparan
yang lagi diam gak jelas di pojokan sana.
Hmm,
kali ini saya lagi ngambil sebuah tema yang cukup menarik (kayak magnet). Pada
tema kali ini, daripada membahas, saya lebih ke arah mau curhat (eakkk).
Okelah, anggap aja saya mau berbagi pengalaman. Oke, pasang kacamata
pelindungnya, guys. Kita berangkat!
SNMPTN.
Bagi para siswa angkatan 2013 pasti udah gak asing lagi dengan singkatan itu.
Saya gak akan bertele-tele menjelaskan apa itu SNMPTN. Kalian bisa aja googling. Yang pasti, SNMPTN adalah
suatu metode untuk menyaring mahasiswa baru dengan mempertimbangkan nilai rapor semua semester dari si siswa
selama di SMA.
SNMPTN
memperbolehkan kita untuk memilih dua PTN sebagai pilihan tujuan. Dalam satu
PTN itu kita bisa memilih dua fakultas tujuan. Semua diurutkan sesuai dengan
prioritas.
Saat
itu semua teman-teman saya segera mengisi prioritas nomor satu dengan PTN dari
Kalimantan, sisanya di luar. Sedangkan saya terbalik. Saya mengisi prirotas
nomor satu dengan PTN yang ada di Jawa, sisanya di Kalimantan.
Alhasil,
saya gak lulus! *bersorak nyaring* bayangkan, nilai rapor dan NEM saya itu
tergolong sangat tinggi di sekolah saya sendiri (NEM tertinggi nomor tiga untuk
jurusan IPA). Setelah saya selidiki, beberapa teman saya yang memiliki NEM di
ambang prihatin bisa lulus! Uwooo! Seperti ditusuk belati tumpul beracun.
Sakiiiiit!
Saya
cari informasi dari teman-teman yang ada di pelosok desa (saya waktu itu
sekolah di Ibukota kabupaten), ternyata mereka sebagian besar lulus. Tidak
semua, tetapi minimal setiap sekolah ada satu atau dua orang yang lulus. Apa
yang ada di benak kalian? Udah sadar?
Yeps!
Mereka lulus karena.......mengisi prioritas satu dengan PTN lokal. Tidak bisa
disalahkan, saya juga tidak menyalahkan. Hanya saja ada beberapa yang menjadi
bahan pemikiran di otak standar saya ini.
Berarti......standar
nilai untuk PTN lokal kita yang berada di Kalimantan ini tergolong rendah, ya?
SNMPTN mengambil nilai rapor sebagai pertimbangan, sedangkan kita tahu bahwa
nilai rapor setiap sekolah berbeda-beda dan tidak ada yang bisa menjadi
patokan.
Nilai
7 di sekolah saya sangat sulit dicari karena tingkat soal-soal yang diberikan
saat tes sangat mengerikan, sedangkan pada beberapa sekolah memberikan soal
yang tidak terlalu sulit sehingga anak didiknya mendapatkan nilai 8,5. Oke, apa
bisa kita menganggap anak yang mendapatkan nilai 8,5 itu lebih pandai dari anak
di sekolah saya yang mendapatkan nilai 7 di sekolah saya?
Pernah
suatu ketika ada seorang anak pindahan dari sekolah lain ke sekolah saya.
Peringkat lima besar di sekolahnya, loh. Pas udah masuk di sekolah saya, masuk sepuluh
besar aja nggak *tabur bunga*. Bukannya saya menyombongkan diri atau
menyombongkan kualitas sekolah saya. Saya juga gak bermaksud merendahkan
sekolah lain. Hanya saja, masih patutkah nilai menjadi patokan? Setelah
memerhatikan contoh di atas?
Ada
yang menarik saat menghadapi SNMPTN kemarin. Beberapa teman (dengan sangat
percaya diri dan pamer) menceritakan bahwa mereka mengisi pilihan UGM atau UI
atau ITB atau ITS sebagai salah satu pilihan mereka masuk, sisanya PTN lokal.
Saya mengangguk-angguk polos. Di dalam benak saya, bagaimana kalau gagal? Apa
sanggup menghadapi tes yang terkenal sangat sulit itu? Ternyata mereka lulus!
Oke, jangan bayangkan mereka masuk PTN top yang saya sebutkan barusan, mereka
masuk PTN lokal. Rupanya mereka mengisi PTN top itu sebagai prioritas nomor
dua, sedangkan PTN lokal menjadi nomor satu! Sama aja bohong! Buat apa pamer!
Mending isi aja satu! *ngakak guling-guling*
Ng,
saya lebih segan sama teman saya yang memilih diam dan mengisi PTN prioritas
nomor satu dengan PTN lokal. Gak ada yang salah kok dengan masuk PTN lokal.
Saya ujung-ujungnya kalau gagal ke Jawa tetap memilih masuk PTN lokal aja kok
ketimbang harus menganggur satu tahun menunggu tes di tahun depan.
Oke,
saya memang gak lulus SNMPTN. Saya gak terlalu kecewa, karena saya
mempertahankan target saya: masuk PTN di Jawa. Saya gak akan membuang target
saya hanya karena takut gagal di SNMPTN. Saya sudah MEMPERKIRAKAN semuanya,
memperkirakan bahwa seandainya saya gagal lalu harus mengikuti tes masuk seperti
tahun-tahun yang dulu. Setidaknya saya bisa berdiri tegap sambil ngomong,
“setidaknya saya gagal karena menghadapi tembok yang sangat tinggi. Kalian
berhasil, berhasil melompati tembok yang rendah.”
Saya
tidak tahu cara atau pola bagaimana yang digunakan oleh pihak SNMPTN untuk
menjaring mahasiswa baru. Hanya saja, ada yang aneh juga, sih. Saya punya teman
yang memiliki nilai rapor dan NEM biasa-biasa aja tetapi dia menargetkan PTN
lokal. Pilihan cerdas. Lalu ada siswa dari pelosok desa yang (katanya) paling
pintar dan memiliki nilai rapor dan NEM paling tinggi di sekolahnya menargetkan
PTN lokal yang sama. Jreeengggg! Siswa dari desa ini lulus. Saya gak terlalu
iri. Yang saya bingung, nilai dan NEM teman saya itu lebih tinggi dari anak
dari desa ini!! kenapa malah anak dari desa ini yang lulus?
Apakah
penjaringan mahasiswa baru melalui nilai rapor itu cuma mitos? Apakah pihak
SNMPTN menggunakan metode meluluskan siswa yang memiliki nilai tertinggi di
sekolahnya saja? Sampai-sampai saya dapat kabar bahwa ada beberapa siswa dari
pelosok Kalimantan sana yang lulus SNMPTN. Astaga, ini..........
Saya
bukannya iri, hanya saja ini aneh. Ngaku aja, deh, bayangkan kalian punya nilai
rata-rata 80 tetapi tidak masuk dalam jajaran orang-orang pandai di sekolah
kalian dan kalian tidak lulus SNMPTN untuk PTN lokal, tahu-tahu kalian dapat
kabar bahwa teman kalian waktu SMP yang sekolah di desa memiliki nilai
rata-rata 78 dan menjadi juara satu di sekolahnya lulus SNMPTN di PTN lokal
yang sama. Apa perasaan kalian? Pengen banting handphone, ya? Ini masalah nilai, tetapi sepertinya nilai itu belum
ada patokan.
Okelah,
mungkin hal-hal di atas itu terjadi
karena suatu hal yang dirahasiakan. Mungkin pihak SNMPTN melakukannya
agar muncul keadilan yang merata pada setiap sekolah. Mereka mengambil
setidaknya satu siswa dari setiap sekolah. Yang menjadi korban metode seperti
ini tentu saja anak-anak yang bersekolah di sekolah akreditasi A yang
persaingannya sangat sulit sampai-sampai mencari nilai rapor rata-rata 80 aja sulit.
Sudah
bukan rahasia lagi bahwa guru punya hak untuk membuat nilai rapor, kan? Kalau
sudah bukan rahasia, metode SNMPTN seperti ini sudah tidak layak lagi
dipertahankan. Nilai itu tidak bisa menjadi patokan utama. Para pembaca silakan
membaca artikel saya yang sebelumnya yang berjudul: Nilai Itu Cuma Angka. Nah,
karena guru bisa memanipulasi nilai yang seharusnya rendah menjadi tinggi,
penggunaan nilai rapor tidak bisa menjadi patokan. Tetapi, ada satu hal yang
sepertinya bisa menjadi patokan. Nilai Ujian Nasional (UN).
Ya,
nilai UN bisa menjadi patokan yang baik. Meskipun pelaksanaan UN 2012/2013
sempat kocar-kacir. Kita asumsikan bahwa pelaksanaan UN sangat bersih dan tidak
ada manipulasi nilai. Kita anggap manipulasi nilai atau kecurangan UN terjadi
hanya di sebagian sekolah. Dari nilai UN terlihatlah dengan jelas bagaimana
kualitas setiap orang karena nilai UN memegang 60% Nilai Akhir (NA). Jadi,
meskipun nilai rapor sudah dimanipulasi, NA tetaplah bergantung pada UN.
Terlihat jelas, bahwa orang yang memang sungguh-sungguh pandai akan memiliki NA
yang lebih tinggi karena dia dengan mudah bisa menjawab UN.
“Terus, apa hubungannya dengan SNMPTN?”
“Saya
lagi menghubungkan pengaruh nilai dengan SNMPTN. Simak aja.”
Ya,
berarti nilai NA dan UN bisa mewakili Nilai Sekolah (NS). Di sini kita akan
berpendapat bahwa orang yang sungguh-sungguh pandai dan memiliki NS tinggi
pastilah akan mudah menaklukkan UN, kan? Pada kenyataannya itu tidaklah benar.
NS tidak bisa menjadi patokan karena sangat rentan bisa dimanipulasi oleh guru.
Nilai NS mereka sebenarnya rendah, tetapi secara ajaib menjadi sama dengan
anak-anak yang bersekolah di sekolah elit. Banyak yang memiliki NS tinggi
tetapi hancur-hancuran di nilai UN. Karena nilai UN udah hancur, nilai NA pun ikut
hancur. Karena itulah tidak heran banyak
anak-anak yang memiliki nilai NA sangat rendah tetapi bisa lulus SNMPTN (karena
nilai NS yang ekstrem).
Saya
punya teman yang memiliki nilai NA standar (bahkan hampir sangat rendah) yang
tidak terlalu istimewa di sekolah kami. Lucunya, nilai dia ini sama dengan
nilai NA seorang anak dari sekolah di pelosok. Teman saya gak lulus SNMPTN tapi
anak dari pelosok itu lulus di PTN lokal. Saya dan teman saya cuma bisa tertawa
terbahak-bahak memerhatikan sistem ini. Padahal jika diperhatikan, nilai NS
teman saya sangatlah standar (perhatikan, saya sudah mengatakan bahwa tingkat
soal di sekolah saya saat tes sangatlah sulit), tetapi nilai UN miliknya cukup
baik. Berbanding terbalik, anak dari pelosok ini memiliki nilai NS yang luar
biasa tetapi entah kenapa nilai UN miliknya memprihatinkan. Tentu aja, dengan
metode penghitungan matematika, nilai NA mereka bisa aja sama meskipun nilai UN
dan NS mereka berbeda. Catat: nilai NS
bisa dimanipulasi, nilai UN kemungkinan besar adalah kebenaran. (hanya
KEMUNGKINAN. Ini hanyalah pemikiran saya sendiri)
Nah,
masih layakkah nilai NS menjadi patokan untuk menjaring mahasiswa baru di
SNMPTN? Sekarang kita bisa berpikir lebih terbuka. Tidak semua yang lulus
SNMPTN itu kompeten. Tidak, saya tidak mengatakan semua. Saya hanya mengatakan
“tidak semua”. Beberapa orang pastilah tetap kompeten. Bersyukurlah kalau kamu
lulus SNMPTN karena tidak semua yang mendapatkan tiket spesial seperti kamu.
Bagi yang gagal, semoga kalian udah punya persiapan untuk jalur yang lainnya
karena SBMPTN juga sudah selesai.
Keluar
dari masalah nilai NS, UN, dan NA, jalur SNMPTN ini punya dua sisi berlawanan.
Ada yang positif dan negatif. Dengan otak saya yang labil ini saya akan
berusaha menjabarkannya.
Negatif
1.
Tidak semua yang lulus SNMPTN itu kompeten. 2. Siswa yang sesungguhnya pandai
bisa saja gagal karena nilainya dikalahkan oleh anak kurang pandai yang
memiliki nilai NS termanipulasi.
Lagipula
selain siswa yang benar-benar pandai dirugikan, PTN yang bersangkutan bisa saja
dirugikan. Bayangkan, dalam satu PTN ada berapa mahasiswa baru tidak kompeten
yang masuk dalam sekali gelombang? PTN harus bersusah payah mendidik seorang
mahasiswa yang... you know what I mean.
Akhirnya kualitas PTN dan kualitas lulusan mahasiswa PTN tersebut diragukan masyarakat
dong.
Positif
Eitts,
saya selalu menekankan bahwa lihatlah suatu hal dari sudut pandang yang lain.
Memang, ada sisi negatif dari SNMPTN tetapi ada juga sisi positifnya loh.
1. Kurang
lebih 50% mahasiswa dari kuota suatu PTN sudah terisi. 2. Orang yang memang
benar-benar pandai tidak perlu repot mengikuti tes tertulis.
Mengadakan
tes tertulis itu cukup merepotkan! Ya, itulah pemikiran sebagian besar PTN.
Jika suda seperti itu, tentu aja SNMPTN bisa mejadi solusi yang cukup baik.
Kapan lagi coba, ada suatu pihak yang menjaringkan mahasiswa-mahasiswa untuk
suatu PTN secara besar-besaran. Wajar dong kalau PTN gak mau repot dan
menyerahkan penjaringan (kurang lebih) 50% kuota mahasiswa baru melalui SNMPTN.
Jadi, pas waktu tes SBMPTN atau tes mandiri, jumlah orang yang ikut tes pun akan
berkurang (epic banget dah).
Gimana?
Udah terbuka wawasannya tentang SNMPTN 2013? Yah, sekali lagi, selamat buat
yang lulus SNMPTN. Tetapi saya lebih respect
buat anda yang lulus SBMPTN atau tes tertulis. Kalian hebat karena berhasil
melalui tembok besar yang sangat terkenal sulit dilalui sejak dahulu kala.
Kalian yang lulus SBMPTN adalah salah satu dari (kurang lebih) 600 ribu orang
yang mengikuti SBMPTN di seluruh Indonesia. Cuma 16,67% yang lulus SBMPTN dari
total keseluruhan loh. Jangan sia-siakan keberhasilan kalian.
“Eh? Udah kelar? Mana curhatnya!??”
“Astaga!
Saya lupa! Oke, artikel berikutnya bakal menceritakan pengalaman saya tentang
SNMPTN dan SBMPTN!”
Sekian
dulu untuk artikel kali ini. Ini cuma pemikiran dangkal saya. Jangan diambil
hati bagi yang lulus SNMPTN. Saya gak benci dengan yang lulus SNMPTN, kok. Saya
cuma benci dengan chain accidents
memuakkan yang terjadi di dunia ini. Hahaha! Sampai jumpa di artikel berikutnya!
*masuk ke dalam gulungan ninja*
“Kadang tembok itu terlalu tinggi. Kau perlu
tangga untuk melewatinya. Bukan masalah seberapa tinggi tangga itu tetapi
BAGAIMANA CARA KAU MENDAPATKAN DAN MENGGUNAKAN TANGGA ITU.” (-HX7)
0 komentar:
Posting Komentar
...........................